Indonesia Jadi Bidikan Hacker, Tak Ada yang 100 Persen Aman
- Dreamstime.com
VIVA – Masih melekat dalam ingatan soal ransomware WannaCry pada pertengahan 2017. Serangan siber itu menginfeksi dan mengenkripsi lebih dari 200 ribu komputer di 99 negara, termasuk Indonesia, yang diiringi tuntutan tebusan. Korporasi besar, perguruan tinggi hingga pemerintahan menjadi sasaran utamanya.
Managing Partner Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani mengatakan, dengan populasi besar dan pertumbuhan ekonomi baik, Indonesia berpotensi menjadi salah satu target utama serangan siber, khususnya oleh hacker atau peretas internasional.
Apalagi berdasarkan laporan Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure Coordinator Center (ID-SIRTI/CC) menyebutkan jumlah serangan dari luar Indonesia lebih dari 205 juta serangan sepanjang 2017, dengan serangan paling banyak berasal dari malware.
"Terpenting untuk menyadari bahwa setiap bisnis tidak pernah bisa 100 persen aman dari serangan siber dan tingkat toleransi risiko yang dimiliki pelaku bisnis juga berperan besar terhadap strategi perusahaan menghadapi serangan siber," kata Johanna, dalam keterangannya, Jumat, 26 Oktober 2018.
Menurutnya, dengan teknologi yang selalu berubah, serangan siber ikut beradaptasi dengan cepat, tanpa mengenal batasan fisik, lokasi, dan waktu. Dengan begitu bisnis harus memiliki strategi manajemen risiko kuat, yang selaras dengan strategi bisnis lebih luas untuk memitigasi risiko di masa depan.
Berdasarkan laporan Grant Thornton International Business Report (IBR) 2018 telah terjadi perubahan signifikan pandangan para pimpinan senior korporasi terhadap bagaimana serangan siber akan memengaruhi dan berdampak bisnis mereka.
Sebagai contoh terhadap waktu manajemen terkuras sebesar 29,9 persen, di mana ini lebih tinggi dari hasil IBR 2016 yang hanya 26 persen. Kemudian dampak hilangnya reputasi 22,3 persen, serta biaya penanggulangan 18,4 persen.
Meski jumlah serangan siber secara global belum meningkat secara dramatis seperti pada tahun lalu, laporan IBR mencatat ada kenaikan serangan sebesar 6,8 persen sejak 2015. Alhasil, dampaknya terhadap pendapatan usaha korporasi relatif kecil, yang mana dilaporkan terjadi penurunan pendapatan korporasi sebesar 1-2 persen akibat serangan siber.