Fakta Kelam Markas Facebook, Ada Pekerjaan yang Bikin Karyawan Trauma
- www.idicti.com
VIVA – Di perusahaan Facebook, ada satu divisi yang bertugas mengelola dan memantau konten yang diunggah oleh jutaan pengguna dari berbagai belahan dunia. Istilah untuk karyawan yang menjalankan tugas tersebut adalah moderator konten.
Konten moderasi adalah aspek penting dalam alur kegiatan media sosial. Keberadaannya menjaga agar konten, yang berupa status, foto, dan video yang diunggah, terjadwal dengan tepat.
Selain itu, terkait dengan kebijakan dan ketentuan penggunaan Facebook yang menyaring postingan negatif, konten moderasi juga diperlukan untuk 'membuang' unggahan-unggahan tak layak tayang, misalnya berbau kekerasan atau pornografi.
Sejak akhir September lalu, ramai dibahas di media. Seorang moderator konten Facebook, Selena Scola, mengajukan gugatan pada perusahaan. Gugatan itu mengklaim, Facebook tidak melindungi karyawan dari trauma mental yang disebabkan oleh gambar grafis yang mereka lihat online setiap hari.
Facebook mempekerjakan setidaknya 7500 moderator konten, Scola salah satu di antara mereka. Ia menderita trauma psikologis dan gangguan stres pasca-trauma, sebagai akibat dari paparan konstan dan tanpa henti terhadap gambar yang sangat beracun dan sangat mengganggu di tempat kerja. Demikian keluhan yang tertuang dalam gugatan, sebagaimana dilansir dari Yahoo.com, Sabtu, 20 Oktober 2018.
"Setiap hari, pengguna Facebook memposting jutaan video, gambar dan siaran langsung dari pelecehan seksual anak-anak, perkosaan, penyiksaan, kebinatangan, pemenggalan kepala, bunuh diri dan pembunuhan," bunyi pengaduan itu.
Facebook telah menempatkan standar keselamatan kerja untuk melindungi moderator konten, termasuk konseling dan dukungan kesehatan mental, mengubah cara gambar traumatis muncul dan melatih moderator untuk dapat mengenali gejala PTSD.
PTSD adalah post traumatic stress disorder, gangguan stres yang terjadi setelah seseorang mengalami kejadian traumatis.
Namun, gugatan itu mengklaim bahwa Facebook mengabaikan standar keamanan tempat kerjanya sendiri, dengan meminta moderatornya untuk bekerja dalam kondisi berbahaya yang menyebabkan kerusakan fisik dan psikologis yang melemahkan.
"Facebook tidak memberikan moderator kontennya pelatihan yang memadai atau menerapkan standar keamanan yang dikembangkan," bunyi gugatan.
"Moderator konten Facebook meninjau ribuan gambar yang merangsang trauma setiap hari, dengan sedikit pelatihan tentang cara menangani distress yang dihasilkan."
Gejala PTSD Scola dapat dipicu ketika dia menyentuh tetikus komputer, memasuki gedung yang dingin, melihat kekerasan di TV, atau mendengar suara keras. Mengingat atau mendiskusikan citra grafis yang dilihatnya di Facebook juga termasuk.
Tak hanya Scola, Roz Bowden, mantan moderator konten di MySpace juga pernah mengalami hal serupa.
“Ketika saya pergi (resign), Saya tidak menjabat tangan siapa pun selama tiga tahun. Saya telah melihat apa yang dilakukan orang dan betapa menjijikkannya mereka. Saya tidak ingin menyentuh siapa pun. Saya jijik dengan manusia," katanya.
Sarah Roberts, seorang asisten profesor Universitas California, dengan pengalaman delapan tahun dalam mempelajari dampak moderasi media sosial pada moderator konten, mengatakan, perusahaan media sosial terjebak dalam krisis kesehatan mental.
“Tidak ada rencana dukungan jangka panjang ketika para moderator konten ini pergi. Mereka hanya diharapkan untuk melebur kembali ke dalam masyarakat,” katanya.
Menanggapi gugatan ini, Engadget melaporkan bahwa Facebook mengatakan: “Kami sedang meninjau klaim ini. Kami menyadari bahwa pekerjaan ini seringkali sulit. Itulah mengapa kami sangat mendukung para moderator konten kami dengan serius, mulai dari pelatihan mereka, manfaat yang mereka terima, dan memastikan bahwa setiap orang yang meninjau konten Facebook ditawarkan dukungan psikologis dan sumber daya kesehatan.”
Moderator konten ibarat lilin yang merelakan diri mereka terbakar demi menerangi sekelilingnya. Mereka bak pahlawan tak dikenal yang menjaga agar Facebook tetap aman bagi semua pengguna. Tapi pekerjaan itu justru membuat dirinya menjadi korban.