Rawan Bencana, Palu Tak Cocok Jadi Daerah Permukiman
- ANTARA FOTO/Yusran Uccang
VIVA – Belum lama ini, bencana gempa bumi telah mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah. Deputi Bidang Informasi Geospasial Dasar, Arief Syafi'i, berencana untuk merelokasi Palu dan membuat pemetaan pasca bencana, yang seharusnya bisa selesai di awal 2019.
"Kota Palu tidak layak jadi kota karena ada beberapa kajian dari badan geologi menyebut, daerah tersebut rawan akan bencana geologis, seperti gempa bumi, tsunami, likuifaksi (tanah pasir) bahkan longsor," ujarnya, di Jakarta, Kamis, 11 Oktober 2018.
Likuifaksi pada daerah tersebut tergolong tinggi. Dengan begitu, wilayah tersebut sebenarnya tidak cocok untuk dijadikan pemukiman. Badan Informasi Geospasial (BIG) sedang memprioritaskan relokasi dan sudah menyiapkan beberapa alternatif.
"Harus dibuat dulu tata ruangnya, jangan bangun dulu baru dibuat. Palu kan sejak dulu sudah teridentifikasi ada potensi bencana. Masalahnya itu generasi sebelumnya kurang bisa menyampaikan ke generasi saat ini. Jadi informasinya lepas," katanya.
Umumnya masyarakat Indonesia saat membeli rumah tidak memperhatikan material tanah. Sedangkan pengembang properti lebih memilih mendirikan bangunan di daerah pinggiran sungai, tanah cekung, dan rawa-rawa karena harganya yang lebih murah dari pasaran.
Seyogyanya pemerintah daerah lebih ketat dalam memberikan izin kepada pengembang. Pasalnya, menyangkut bencana likuifaksi di Palu kemarin adalah perumahan padat penduduk, yang seharusnya tidak untuk menjadi pemukiman.
Masalah perizinan akan menjadi penting. Jika tidak dijalankan, maka Pemda beserta pengembang akan tersandung masalah pidana. Daerah likuifaksi bisa dimanfaatkan menjadi hutan lindung, ruang terbuka dan serapan air.