Mengenal Gempa Bumi Megathrust, Seperti yang Mengguncang Palu

Kondisi jembatan kuning yang ambruk akibat gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu, 29 September 2018.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Ilmuwan melakukan analisis teori terhadap penyebab tsunami yang menerjang Palu dan Donggala, Jumat, 28 September 2018. Awalnya mereka tak menyangka, tsunami pasca gempa yang melanda daratan kota Palu itu memiliki daya hancur yang dahsyat.

Strategi PIS Ajak Generasi Muda Pesisir Lestarikan Budaya Kelautan

"Kami menilai bisa saja terjadi tsunami, tapi tak sebesar itu," kata Jason Patton, ahli geofisika dari perusahaan konsultan Temblor, yang mengajar di Humboldt State University di California, dikutip dari New York Times, Senin, 1 Oktober 2018.

Gempa dengan magnitudo 7,5 SR berpusat di sepanjang pantai pulau Sulawesi sekitar 50 mil sekitar 80 km sebelah utara Palu. Tak lama setelah itu, dalam 30 menit, gelombang setinggi 18 kaki (5.5m) menghantam daratan kota Palu dan Donggala, menewaskan ratusan orang.

Brigadir Jenderal Carla River Kenang Bantuan Militer AS untuk Aceh Pasca Tsunami 2004

Menurut ilmuwan, tsunami tersebut timbul sebab gempa bumi megathrust. Gempa megathrust berasal dari zona megathrust, yaitu zona tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia.

Penjelasan lain untuk gempa megathrust adalah ketika bagian besar dari kerak Bumi berubah bentuk, bergerak secara vertikal di sepanjang patahan.

Gempa Magnitudo 5,0 Guncang Buol Sulteng, BMKG Ungkap Penyebabnya

Gerakan kerak Bumi tersebut, secara cepat menggantikan volume air laut, kemudian menciptakan gelombang yang dapat melaju dengan kecepatan tinggi melintasi cekungan samudra, dan menyebabkan kehancuran ribuan mil dari pusat gempa.

Tsunami di Aceh yang berasal dari Samudra Hindia pada 2004 silam, juga dihasilkan dari gempa megathrust berkekuatan 9.1 SR.

Analisis lainnya, gempa yang terjadi di Palu dan Donggala, terdapat ‘kesalahan’ strike-slip, yaitu suatu kondisi di mana gerakan Bumi sebagian besar horizontal. Gerakan semacam itu biasanya tidak akan menciptakan tsunami.

"Tetapi dalam kondisi tertentu, bisa," kata Patton.

‘Kesalahan’ terjadi ketika bidang sesar strike-slip melakukan gerakan vertikal yang dapat menggantikan air laut. Atau zona patahan sesar, yang dalam kasus ini diperkirakan sekitar 70 mil panjangnya, melewati area di mana dasar laut naik atau turun.

Sehingga ketika patahan bergerak selama gempa, ia mendorong air laut di depannya sampai ke daratan.

Kemungkinan selanjutnya, menurut ilmuwan, tsunami bisa saja terjadi secara tidak langsung. Guncangan keras selama gempa mungkin telah menyebabkan longsor bawah laut yang kemudian menciptakan gelombang.

Kejadian seperti itu tidak biasa. Contohnya yang terjadi di Alaska pada tahun 1964, dengan magnitudo 9,64 SR.

Namun, Patton mengatakan, tsunami juga bisa saja terjadi karena kombinasi faktor-faktor tersebut. Studi tentang dasar laut akan sangat penting untuk memahaminya.

"Kami tidak akan tahu apa yang menyebabkannya sampai itu selesai," katanya. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya