Ilmuwan Dunia Kaget Lihat Tsunami di Indonesia, Minim Sistem Canggih

Masjid Baiturrahman dan sekitarnya di Palu Barat setelah tsunami pascagempa
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

VIVA – Para ilmuwan menyatakan terkejut pada ukuran tsunami yang menghancurkan kota Palu di Indonesia pada Jumat, 28 September 2018. Menurut mereka tingginya jumlah korban jiwa mencerminkan kurangnya sistem canggih Indonesia untuk deteksi dan peringatan tsunami.

Nihayatul Wafiroh Minta Kader Perempuan Bangsa Proaktif Mitigasi Bencana

Awalnya, mereka mengira bahwa guncangan gempa berskala 7,5 skala richter (SR) yang melanda pada sore hari itu tak akan menimbulkan gelombang tsunami yang berdaya hancur.

"Kami menilai bisa saja terjadi tsunami, tapi tak sebesar itu," kata Jason Patton, ahli geofisika dari perusahaan konsultan Temblor, yang mengajar di Humboldt State University di California, dikutip dari New York Times, Senin, 1 Oktober 2018.

BRI Insurance Cairkan Klaim Asuransi Bencana Alam Erupsi Gunung Ruang Senilai Miliaran Rupiah

Namun, Patton menambahkan, “Ketika peristiwa seperti ini terjadi, kami justru menemukan hal-hal yang belum pernah kami amati sebelumnya.”

Gempa di Palu berpusat di sepanjang pantai pulau Sulawesi sekitar 50 mil sekitar 80 km sebelah utara Palu. Tak lama setelah itu, dalam 30 menit, gelombang setinggi 18 kaki (5,5 meter) melanda daratan dan menewaskan ratusan orang.

Gempa Magnitudo 7,3 Guncang Vanuatu, Berpotensi Tsunami!

Louise Comfort, salah satu ilmuwan dari University of Pittsburgh, mengatakan, Indonesia saat ini hanya menggunakan seismograf, perangkat sistem penentu posisi global dan alat pengukur pasang untuk mendeteksi tsunami, yang memiliki efektivitas terbatas.

Di Amerika Serikat, Administrasi Kelautan dan Atmosfer Nasional memiliki jaringan canggih berupa 39 sensor di dasar samudra, yang dapat mendeteksi perubahan tekanan yang sangat kecil dan mampu menunjukkan jalannya tsunami.

Data kemudian diteruskan melalui satelit dan dianalisis. Peringatan bencana dikeluarkan jika diperlukan.

Sementara itu, menurut laporan lain, Indonesia punya alat deteksi tsunami yang disebut ‘buoy’. Kepanjangan dari Deep-Ocean Tsunami Detection Buoys. Perangkat ini digunakan untuk mendeteksi perubahan permukaan air laut.

Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi Badan Penanggulangan Nasional, Sutopo Purwo Nugroho, buoy itu rusak karena vandalisme dan hilang dicuri.

Kondisi tersebut memperlemah mitigasi atau upaya preventif pemerintah mencegah munculnya korban jiwa saat gelombang tsunami menerjang daratan.

Padahal, kata dia, alat deteksi tsunami berteknologi tinggi seharusnya dipasang di sepanjang kawasan pesisir Indonesia yang rawan bencana.

"Buoy tsunami tidak ada lagi di Indoensia padahal itu diperlukan untuk memastikan tsunami sebagai sistem peringatan dini," ujar Sutopo di Jakarta, Minggu, 30 September kemarin.

Ilustrasi gempa bumi.

Gempa 7,3 Magnitudo di Vanuatu, Korban Meninggal Menjadi 14 Orang

Korban akibat gempa 7,3 magnitudo yang melanda negara kepulauan Pasifik, Vanuatu, bertambah jadi 14 orang, kata Kepala Kantor Federasi Internasional Palang Merah Pasifik.

img_title
VIVA.co.id
18 Desember 2024