Hak untuk Dilupakan, Hakim dan Pemerintah Wajib Hati-hati
- Instagram/@esmeralda_k_
VIVA – Indonesia telah memiliki aturan right to be forgotten atau dikenal 'hak untuk dilupakan', yang termuat dalam pasal 26 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).Â
Hak tersebut memungkinkan semua orang warga negara Indonesia meminta penghapusan informasi maupun dokumen elektronik terkait dirinya yang sudah tak relevan lagi di internet. Dalam undang-undang tersebut, ketentuan permintaan hak untuk dilupakan harus didasarkan pada ketetapan pengadilan.
Namun penerapan hak untuk dilupakan ini tak semudah dibayangkan. Sebab hak tersebut idealnya masuk dalam rezim aturan perlindungan data pribadi, bukan aturan UU ITE.Â
Untuk mengeksekusi hal ini, pemerintah dikabarkan sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) atau Peraturan Menteri untuk hak dilupakan.Â
Dosen Hukum Teknologi, Informasi dan Komunikasi pada Fakultas Hukum, Universitas Padjadjaran, Sinta Dewi memberikan catatan, peraturan pemerintah yang menjadi landasan eksekusi hak untuk dilupakan jangan sampai bias dari semangat melindungi data pribadi dan privasi warga negara.Â
Mengingat permintaan hak dilupakan harus berdasarkan ketetapan pengadilan, maka Sinta berharap, dalam peraturan pemerintah betul-betul memberikan petunjuk yang jelas kepada hakim dalam menetapkan permintaan hak dilupakan tersebut.Â
"PP harus memberikan rambu petunjuk kepada hakim dalam melaksanakannya. Ketetapan hakim memang yang menentukan, tapi dalam menentukan itu harus tahu rambunya," ujarnya kepada VIVA, Kamis 19 Juli 2018.
Dia menuturkan, untuk menentukan kategori hak untuk dilupakan, memang tak mudah. Hal ini sejatinya merupakan hak penghapusan data pribadi yang sudah tak relevan. Jika hakim tidak paham betul, maka pemberian hak ini bisa kacau.Â
Misalnya, pejabat publik yang meminta hak dilupakan ke pengadilan, maka hakim harus selektif dan teliti. Sebab, menurutnya, tak semua informasi elektronik dari pejabat publik di masa lalu, bisa dengan mudah diberikan hak dilupakan.
Pejabat publik, kata Sinta, terikat dengan prinsip keterbukaan informasi ke publik. Beda dengan orang biasa yang tak memiliki kewajiban tersebut. "Hukum memberi keseimbangan antara kedua ini. Dalam praktik ini tak mudah, hakim harus ngerti," tuturnya.Â
Menurut prinsip rezim perlindungan data pribadi, pejabat publik tak bisa berharap banyak untuk menghapus jejak hitamnya di internet dan penyelenggara sistem elektronik lainnya. Keinginan pejabat publik itu akan benturan dengan hak informasi publik.Â
Untuk itu parameter kategori apa saja informasi yang pas untuk dimintakan hak dilupakan harus dibuat jelas oleh pemerintah.Â
Sinta mengatakan, setidaknya parameter informasi hak dilupakan yakni salah satunya yakni informasi yang dimaksud sudah tak relevan untuk kondisi sekarang.
Dalam konteks ini, Sinta mencontohkan, seorang narapidana yang sudah selesai menjalankan hukumannya sudah sepantasnya mendapatkan hak dilupakan. Narapidana tersebut bisa meminta pengadilan untuk menghapus informasi kasusnya yang sudah selesai.
Di negara lain, tiap narapidana yang selesai menjakankan hukuman, maka bisa meminta penghapusan informasi dari internet. "Kecuali kejahatan paedofialia ya, ini masih tetap menempel (informasinya) karena membahayakan masyaraat. Kalau pidana lain harus dianggap privasi. Begitu lewati masa hukuman, ya bisa dilupakan," ujarnya menjelaskan.Â
Namun prinsip informasi dihapus karena sudah tak relavan, tak serta merta bisa dinikmati pejabat publik. "Tapi kalau pejabat publik, misalkan dia terlibat kasus korupsi, maka dia idealnya tak boleh disembunyikan (informasinya dihapuskan). Itu bukan privasi tapi ini menyangkut track record sang pejabat untuk publik." (mus)Â