MK Tolak Ojek Online, Gojek Belum Punya Opsi untuk Nasib Jutaan Orang
- VIVA/Misrohatun Hasanah
VIVA – Gojek menghormati segala putusan Mahkamah Konstitusi atau MK yang menolak ojek online sebagai alat transportasi umum atau angkutan umum. Putusan tersebut diambil MK terhadap uji materi Nomor 41/PUU-XVI/2018 yang diajukan oleh para pengemudi ojek online.
"Gojek mentaati semua, lebih tepatnya menghormati segala keputusan terkait kebijakan yang dibuat pemerintah," ujar Vice President Corporate Communication Gojek Indonesia, Michael Reza Say, disela acara peluncuran Paket Siap Online, di Senayan, Jakarta, Jumat 6 Juli 2018.
Ojek online besutan Nadiem Makarim tersebut mengaku belum mempunyai langkah konkret untuk bernegosiasi atas putusan MK. Namun Gojek menginginkan pemerintah untuk bijak dalam mengambil keputusan.
"Saya harap pemerintah memperhatikan nasib jutaan orang yang menggantungkan hidupnya dari aplikasi ini (Gojek)," ujarnya.
Menyangkut rencana Kementerian Perhubungan yang akan menyerahkan pengaturan ojek online kepada pemerintah daerah (pemda), Michael menegaskan, Gojek mentaati serta menghormati langkah pemerintah. Menurutnya, masalah peraturan hukum di Indonesia merupakan ranah sepenuhnya pemerintah.
Gojek belum mendapat panggilan dari Pemprov DKI Jakarta terkait peraturan ojek online yang kabarnya akan diatur oleh Pemda. Kedatangan Gojek ke Dinas Perhubungan DKI untuk mendiskusikan masalah pengaturan parkir dengan ketertiban di jalan.
Mahkamah Konstitusi menolak pelegalan ojek online sebagai transportasi umum atau angkutan umum. 54 pemohon mengajukan uji materi Pasal 47 ayat (3) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan angkutan Jalan (LLAJ). Aturan tersebut tidak mengatur ojek online sebagai angkutan umum.
Pemohon tersebut terdiri dari pengemudi ojek online, karyawan swasta sampai mahasiswa. Mereka memberikan kuasanya kepada Komite Aksi transportasi Online (KATO).
Hakim konstitusi bulat menolak ojek online sebagai angkutan umum. Majelis yang memutus adalah Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Maria Farida Indrati, Manahan Sitompul, I Dewa Gede Palguna, dan Saldi Isra.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, Mahkamah berpendapat Pasal 47 ayat (3) UU LLAJ merupakan norma hukum yang berfungsi untuk melakukan rekayasa sosial agar warga negara menggunakan angkutan jalan yang mengutamakan keamanan dan keselamatan, baik kendaraan bermotor perseorangan, maupun kendaraan bermotor umum.
Mahkamah menegaskan tak menutup mata adanya fenomena ojek, namun hal tersebut tak ada hubungannya dengan konstitusional atau tidak konstutusionalnya norma Pasal 47 ayat 3 tersebut. Sebab, menurut Mahkamah, ketika aplikasi ojek online belum tersedia seperti saat ini, ojek tetap berjalan tanpa terganggu dengan keberadaan pasal 47 ayat 3 tersebut. Setelah melakukan kajian, Mahkamah memutuskan ojek online bukan alat transportasi yang legal.
"Kita akan terus kolaborasi dengan Kadishub, Pemprov DKI, bagaimana caranya untuk tertib di jalan. Untuk keselamatan driver maupun warga DKI," tutupnya.