Kominfo: Teroris Berlindung di Balik Teknologi Enkripsi
- REUTERS/Phil Noble
VIVA – Teknologi enkripsi membuat percakapan menjadi tidak terdeteksi. Hal ini juga membuat pengawasan terhadap penyebaran paham radikalisme teroris dinilai sulit.
Tenaga Ahli Menteri Bidang Literasi Digital dan Tata Kelola Internet Kementerian Komunikasi dan Informatika, Donny B.U., mengatakan bahwa tidak perlu terpaku dengan teknologi enkripsi yang membuat pengawasan terhadap terorisme menjadi sulit dilakukan di aplikasi messenger.
"Teknologi enkripsi itu memungkinkan adanya percakapan sangat pribadi. Tapi, adanya teknologi ini kita tidak bisa mengetahui adanya percakapan terorisme di dalamnya. Karena, ada berbagai upaya jadi tidak harus berbicara soal teknologinya," kata Donny di Jakarta, Rabu, 16 Mei 2018.
Menurutnya, orang dengan tujuan jahat akan mencari cara lain agar perilakunya tak diketahui sebelum beraksi. Pemanfaatan teknologi apapun bisa dilakukan oleh orang jahat, termasuk para teroris untuk mencari celah.
Donny mengaku bahwa Kominfo hanya bisa memblokir konten negatif yang ada di media sosial, bukan percakapan pribadi pada aplikasi messenger. Ia juga mengklaim mesin sensor internet tidak bisa masuk ke ranah pribadi tersebut.
"Aduan soal percakapan pribadi itu akan dikoordinasikan langsung dengan penegak hukum. Kami tidak selalu blokir yang sifatnya online, tapi juga offline. Caranya, ya, koordinasi penegakan hukum atau literasi digital," paparnya.
Tren global juga menunjukkan bahwa paham radikalisme disebarkan teroris lewat media sosial, salah satunya ISIS. Sebab, menurut Donny, internet tidak ada batas negara, maka orang yang terkena 'racun' paham radikalisme bisa dari mana saja.
Di sinilah, kata Donny, muncul peran literasi digital agar masyarakat Indonesia tidak terbawa paham tersebut. "Nah, masalahnya kalau terpapar (racun) itu belum tentu mereka ikutan. Ini yang kita bangun dengan literasi digital," jelas dia.