Reaksi Otak Ketika 'Parno' Aksi Terorisme
- bbc
VIVA – Serangan teror beruntun melanda tiga kota di dua provinsi. Surabaya dan Sidoarjo - keduanya di Jawa Timur, pada Minggu-Senin, 13-14 Mei, serta Pekanbaru, Riau, pada Rabu, 16 Mei 2018.
Parahnya, aksi para teroris ini dilakukan oleh satu keluarga. Itu terjadi di Surabaya yang menghancurkan tiga gereja dan Mapolrestabes dengan bom bunuh diri.
Mereka melakukan aksi tak beradab tersebut lantaran para bomber ini 'bersedia' menjadi martir untuk 'membagi' penderitaan dengan orang banyak.
Hanya iming-iming masuk surga karena bagian dari jihad dan penebusan dosa. Mereka pun seperti terhipnotis untuk melacurkan tubuhnya bersama ledakan bom.
Contoh lainnya adalah konflik abadi antara militer Israel dan militan Palestina, serta konfilik militer Filipina dengan kelompok teroris Abu Sayyaf.
Sebenarnya, apa yang terbesit di pikiran pelaku maupun korban tentang aksi teror? Mengutip situs Asiaone, Rabu, 16 Mei 2018, sebuah lembaga keamanan suatu negara melakukan penelitian ini, sekaligus dipakai untuk alat kontra-terorisme.
Penelitian ini menunjukkan bahwa pikiran bomber (teroris yang membawa bom bunuh diri) bisa diubah saat menjalankan misi bunuh diri. Bahkan, calon bomber dapat 'disadarkan' untuk tidak menerima 'pekerjaan' sebagai pelaku bunuh diri.
Namun sejarawan dan ahli terorisme Amerika Serikat, Walter Laqueur, mengatakan sebaliknya. Menurut dia tidak semua konflik global bisa diselesaikan, bahkan terorisme sekalipun.
"Tidak bisa (semuanya selesai). Kombinasi paranoia, fanatisme, dan ekstremis politik atau agama, dan doktrin, akan membentuk wadah baru, yang mana ini akan menciptakan regenerasi bagi teroris," kata penulis buku No End to War, Terrorism In The Twenty-First Century itu.
Ia mengatakan, meskipun terorisme sulit diberantas tetapi para pelaku teror yang masih hidup dan tertangkap bisa direhabilitasi.
Mengutip situs Vox, pengamat lain dari Berkman Klein Center for Internet and Society, Bruce Schneier mengatakan, masifnya laporan peliputan berita, yang cenderung sensasional, membuat otak tereksploitasi untuk memprioritaskan cerita tentang statistik.
"Kalau ada berita lalu jadi heboh, maka otak kita lama-lama akan terbiasa tentang berita sensasional. Seperti terorisme. Inilah mengapa rakyat Amerika menempatkan terorisme di urutan kedua dari 10 ketakutan mereka di tahun 2016, saat pilpres berlangsung, meskipun jumlah kematiannya rendah," jelasnya.
Schneier melanjutkan, apabila ketakutan makin meningkat dapat menimbulkan konsekuensi serius, yang berimbas pada reaksi yang berlebihan. "Imbasnya ke psikologis kita karena rasa khawatir dan takut yang tidak terkontrol," tutur dia.
Adapun menurut John Horgan, dalam The Psychology of Terrorism (2005), mengungkapkan, peristiwa teror bom mengubah masyarakat dari penonton menjadi pelibat aktif di dalamnya (personalization of event).
"Kita jangan berhenti pada drama tragedi. Kita perlu beranjak dari drama tragedi ke uraian sistematis untuk memahami terorisme," ungkap Horgan.