Dahsyatnya Letusan Tambora, Manusia Beterbangan
- www.volcanodiscovery.com
VIVA – Dua abad lewat tiga tahun lalu, letusan Gunung Tambora di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, memuncak. Letusan yang dimulai sejak 5 April 1815 mencapai klimaks lima hari kemudian, 10 April 1815.
Setelah letusan awal susul menyusul per seperempat jam pada malam hari 5 April 1815, letusan berganti dengan getaran sampai beberapa hari.
Dalam catatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java, memasuki pagi sampai siang hari 10 April 1815, aktivitas Gunung Tambora mulai mereda.
Namun sore harinya, Gunung Tambora 'bangkit' kembali. Letusan mulai terdengar lebih keras dan lebih sering. Raffles mencatat dari arah timur laut Chirebon (Cirebon) cuaca tampak gelap akibat turunnya hujan abu dan matahari menghilang lagi. Daerah lain, yakni Solo dan Rembang, teras getaran tanah yang begitu hebat.
"Getaran ini lebih terasa di wilayah timur, yang mana letusan masih berlangsung sampai 11 April. Getaran itu merusak beberapa rumah," tulis Raffles dalam bukunya.
Letusan Tambora itu tercatat dalam laporan yang dibuat oleh Letnan Owen Philips dari Bima di Pulau Sumbawa.
Letnan Owen kala itu sedang menjelajahi perjalanan di sebelah barat Pulau Sumbawa, dia melewati seluruh wilayah Dompo dan sebagian Bima. Dia menggambarkan kengerian bencana alam tersebut, yang disebut sebagai yang terbesar melanda penduduk kala itu.
"Mayat-mayat masih bergelimpangan di tepi jalan dan di beberapa perkampungan tersapu bersih. Rumah-rumah hancur, penduduk yang hidup menderita kelaparan," ujar Letnan Owen dalam buku The History of Java.
Perjalanan Letnan Owen itu ditunggu oleh penguasa setempat Raja Sangir. Sang Raja menunggu sang Letnan pada hari ketiga. Saking dahsyatnya bencana itu, putri kesayangan sang raja juga menjadi korban, dia meninggal karena kelaparan.
Rasa getir diberitakan Letnan Owen. Saat dia memberikan tiga karung beras, Raja Sangir begitu menyampaikan terima kasih.
Karena raja menjadi saksi peristiwa tersebut, maka sang raja diminta untuk menceritakan kengerian yang terjadi.
Menurut Raja Sangir, pukul 19.00 pada 10 April, dia melihat tiga bola api besar keluar dari Gunung Tambora, yang diperkirakan berasal dari kawah. Ketiga bola api ini bergabung di udara dalam satu ledakan dahsyat. Dalam waktu singkat, kata Raja Sangir, seluruh gunung dekat Sangir tampak seperti bola api raksasa yang meledak ke segala arah. Saking dahsyatnya, ledakan bola api itu menimbulkan kegelapan akibat jatuhnya isi perut Tambora yang terjadi pada pukul 20.00.
"Hujan batu lebat terjadi di Sangir, beberapa di antaranya sebesar dua kepalan tangan, tapi rata-rata sebesar kerikil," kata sang Raja.
Dua jam kemudian, hujan abu mulai turun diiringi angin kencang. Serangan itu merobohkan hampir tiap desa di Sangir dan menerbangkan atap-atap rumah.
Raja mengatakan, di daerah Sangir yang berbatasan langsung dengan Tambora, kerusakannya lebih parah. Begitu ngeri.
"Pohon-pohon besar tercabut dari akarnya dan terbang di udara bersama dengan kumpulan manusia, ternak dan benda lainnya dalam pusaran angin topan," tuturnya.
Bukti kengerian itu, yakni adanya batang-batang kayu terapung di laut.
Letusan dahsyat itu menggoncangkan lautan. Di perairan, gelombang laut setinggi lebih dari 3,6 meter menyapu bersih dataran Sangir, menenggelamkan tiap rumah dan apa saja yang dijangkau air bah tersebut.
Soal angin topan disebutkan terjadi selama sejam. Selama pusaran angin ini, tak terdengar letusan sampai jam 11 pagi.
Setelah hari berganti, letusan mulai mereda meski ledakan masih terdengar sesekali. Tapi ledakan itu tak berhenti sampai 15 Juli.
Ledakan itu menyebabkan korban jiwa. Catatan Raffles, di seluruh Tambora, hanya Desa Tempo yang berpenduduk 40 orang masih selamat. Penduduk di Desa Pekate, tidak ada rumah yang tersisa, 26 orang saat itu ada di Sumbawa, mereka selamat.
"Menurut perhitungan saya, ada sekitar 12 ribu orang di Tambora dan Pekate saat terjadi letusan, dan hanya 6-7 orang yang selamat," kata Raffles. (ase)