Curhat Peneliti LIPI, Susah Membumikan Sains ke Masyarakat
- Instagram/@lipiindonesia
VIVA – Terkadang saat mendengar peneliti sedang presentasi, kita tidak mengerti dengan istilah-istilah yang mereka bicarakan. Ada tipe orang yang setelah mendengarkan lalu mencari tahu tapi ada juga yang akhirnya masa bodoh.
Kepala Bidang Pengelolaan dan Diseminasi Hasil Penelitian Badan Pusat Penelitian Oceanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Nugroho Dwi Hananto mengatakan, paham betul tentang masalah peneliti terkadang tidak bisa menyampaikan bahasa yang dipahami masyarakat luas.
"Ini tantangan besar di sana. Itu (komunikasi) kesalahan kami sebagai peneliti ya. Karena 24 jam kerjanya itu saja," ujar Nugroho ditemui saat Oceanografi Science Week di Jakarta, Selasa 20 Februari 2018.
Menurut Nugroho, peneliti termasuk dirinya seharusnya lebih banyak berinteraksi dengan orang lain di luar disiplin ilmu mereka daripada hanya berada di jalur yang sama. Selain itu, Nugroho mengatakan, pembahasan mereka seharusnya juga yang menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat luas. Jadi ilmu yang diteliti itu bisa langsung diimplementasikan pada kehidupan orang banyak.
"Memang kami perlu orang-orang yang menerjemahkan bahasa ilmiah ke dalam bahasa yang populer. Memang sulit tapi ya harus. Di LIPI, Humas kami arahnya sudah ke sana," katanya.
Nugroho mengatakan, Humas di LIPI pekerjaannya mengarah pada komunikasi yang tepat untuk menyampaikan sains pada masyarakat umum atau pun pemerintah. Maka dari itu, ia menyatakan diperlukan kerja sama antara peneliti dengan pihak yang bekerja untuk masyarakat atau mendalami bidang sosial serta budaya. Tujuannya tak lain pesan yang ingin disampaikan bisa sampai secara utuh dan dapat dimengerti masyarakat.
Selain itu, Nugroho juga menyinggung soal kerja sama antar-peneliti beberapa ilmu pengetahuan. Seperti diketahui, terkadang mereka melakukan penelitian hanya berdiri sendiri sesuai dengan latar belakang pendidikannya tanpa melakukan kerja sama dengan pihak lain yang berbeda bidang pengetahuannya.
"Egosektoral itu pasti ada. Justru kami lah yang memecah ego itu. Paper itu output, tapi outcame-nya itu berbentuk rumusan kebijakannya dan kami harus bersama-sama. Bahkan dari sisi sosial-budaya," jelas Nugroho.
Ia menyatakan dalam penyebaran hasil penelitian, misalnya di pesisir tidak bisa meninggalkan masyarakat di sana. Mereka juga harus diedukasi soal penelitian tersebut. Dengan begitu masyarakat juga bisa berkehidupan dari hasil edukasi itu dan di sanalah dibutuhkan kerja sama antar sektor pengetahuan. Tak hanya bagian eksakta tapi juga sosial budaya.
"Terutama di P2O, survei tidak bisa satu bidang saja. Karena biaya besar sekali. Misalkan kami mau ke Laut Banda mau mengukur suhu laut. Itu membutuhkan dana satu hari kapalnya Rp150 juta. (Makanya) kami selalu bekerja sama," jelasnya. (ase)