Yuk, Diet Media Sosial Biar Otak Sehat
- indianexpress
VIVA – Diet tidak hanya identik menurunkan berat badan, tapi sudah ke ranah media sosial. Kalau diet yang dipahami khalayak umum mengurangi asupan makanan ke dalam tubuh, namun diet media sosial artinya mengurangi ketergantungan terhadap gawai atau gadget dan internet.
Hal ini menjadi penting karena sebagai makhluk sosial, manusia seharusnya bertemu dan bertatap muka, bukan berbicara di dunia maya.
Terlebih, saat ini tengah marak berita negatif seperti hoax dan ujaran kebencian yang tersebar di media sosial. Perlu ada gerakan diet media sosial, yang tujuannya membuat tidak laku ujaran kebencian dan berita hoax.
Kendati demikian, walau di era digitalisasi seperti sekarang teknologi sudah menjadi kebutuhan primer, mungkinkah manusia tahan dan mampu lepas dari media sosial?
Redaksi VIVA, Kamis, 1 Februari 2018, mencoba mewawancarai sejumlah orang di tempat terpisah untuk dimintai pendapat.
"Kalau media sosial enggak ada, yang pasti komunikasi lebih susah," kata Citra Koesoema.
Meski begitu, ia mengaku jika bertatap muka langsung, baik dengan teman maupun keluarga, sangat perlu dilakukan karena manusia pada dasarnya makhluk sosial.
"Dan, yang positifnya lagi, enggak perlu sakit hati akibat stalking mantan yang udah move on, hehehe," ungkap wanita yang bekerja sebagai social media analyst ini, tersenyum.
Selain itu, Citra meyakini andaikata media sosial tidak ada, dirinya justru tidak mempermasalahkan. Karena, banyak waktu untuk membaca buku atau beraktivitas lainnya.
"Jadi intinya, enggak ada media sosial enggak bikin mati gaya. Ya, sesekali bolehlah diet medsos diberlakukan," tuturnya.
Sementara itu, Chairwoman of the Board of Directors Blockchain Zoo, Pandu W Sastrowardoyo, menyebut kalau media sosial bukan wadah untuk oversharing. Tapi, lebih kepada kegiatan yang sifatnya positif.
"Ini sama seperti menulis novel atau diary. Jadi, saya sangat setuju dengan diet medsos. At least untuk lebih mindful. Think before you post," kata Pandu.
Ia juga memberikan saran bagaimana membedakan berita hoax atau bukan di media sosial, yang menurut Pandu, itu bagian dari privasi yang harus dijaga.
"Baca semua informasi. Lihat dari semua sisi. Biasanya kebenaran ada di tengah jadinya netral, sehingga tidak ada yang namanya social media bubble," papar wanita yang memiliki 1.000 pengikut di Twitter, 5.000 Facebook dan 6.000 LinkedIn, ini.
Marya Ulfah al-Basor, karyawati swasta yang bekerja di bilangan Jakarta Timur, memilih tatap muka langsung ketimbang berkomunikasi melalui media sosial atau pun smartphone.
"Feel dan chemistry-nya ada kalau kopi darat. Bebas ngobrol ngalor ngidul," kata Marya, bersemangat. Tapi, sisi lain, ia melanjutkan, pada era zaman now ini harus punya mental kuat. Bukan tanpa alasan ia berkata demikian.
"Kalau pilih 'hidup' di media sosial tapi mentalnya nggak kuat, bisa bikin stres. Karena, kita dituntut tampil wow padahal di belakang itu, ‘apaan sich dia?’. Jadi, menurut saya kaya punya kelainan, gitu dech," demikian ia bercerita.
Direktur Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro Otoritas Jasa Keuangan, Fithri Hadi, setuju apabila media sosial diarahkan ke hal yang produktif.
"Medsos baik untuk networking tapi harus seimbang. Main medsos terus-terusan tidak bagus untuk kesehatan," ungkapnya.
Senada dengan yang lainnya, pegiat IT Achmad Fadlih mengaku lebih baik bertemu dan kumpul-kumpul ketimbang main media sosial. Maka dari itu, ia setuju kalau gerakan diet media sosial secepatnya diberlakukan.
"Saya kebetulan nggak main medsos. Lebih enak kumpul-kumpul bareng ngobrol kayak dulu janjian lewat SMS. Ngobrol tanpa pegang hape, nggak ada ketawa sendirian. Itu puas banget rasanya. Kita nggak dibudakin gadget," terang Fadlih.