Mengenal Cyber Drone 9, Polisi Internet Indonesia
- VIVA.co.id/Lazuardhi Utama
VIVA – Mendengar nama 'Cyber Drone 9' mungkin terbayang sebuah pesawat terbang nirawak yang melakukan pemantauan atau surveillance. Padahal tidak demikian wujudnya.
Ini adalah sistem baru milik Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagai pengganti sistem pemblokiran konten internet negatif yang telah ada sebelumnya, Trust+, yang secara de facto dibubarkan.
Menurut Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Kominfo, Teguh Arifiyadi, Cyber Drone 9 akan membantu mempercepat cara kerja melawan konten negatif.
Terlebih, dengan tambahan kecerdasan buatan atau artifical intelligence (AI), cara kerja mesin sensor internet ini akan serba-otomatis.
Sistem yang memiliki ruangan khusus di lantai 8 Gedung Kominfo tersebut membantu tim yang berjumlah 58 orang ini untuk mempercepat proses pencarian atau crawling konten negatif.
"Secara ideal melakukan penapisan bisa dimulai dari IP filtering, hosting, URL ataupun dari kontennya. Untuk melakukan itu semua, maka dari itu kami harus memilih yang mana melanggar aturan," kata Teguh.
Sistem tersebut diterapkan di router untuk memantau aliran data secara real-time dan melakukan tindakan atas aliran tersebut, sehingga dikhawatirkan bakal menggerus privasi pengguna internet di Indonesia.
"Cyber drone akan membantu kami men-supply informasi tentang ribuan bahkan puluhan ribu situs serta akun penyebar konten negatif seperti pornografi, perjudian, penipuan, persekusi, hoaks, dan ideologi radikal, dalam waktu relatif cepat," ungkapnya.
Kerja Tiga Shift
Cyber Drone 9 terdiri dari dua ruang utama, Security Operations Center (SOC Room) dan War Room. Untuk SOC Room adalah 'dapur' dari segala aktivitas pemantauan dan pengendalian terhadap konten negatif.
Tim yang terdiri dari 58 anggota ini bekerja tiga shift selama 24 jam. Sedangkan, War Room, yaitu ruang rapat sekaligus untuk mengambil keputusan, di mana hasil kerja cyber drone ini akan diverifikasi ulang oleh tim secara hati-hati.
"Sebelum akhirnya diputuskan bahwa situs atau akun tersebut harus 'dieksekusi mati.' Jadi, manusia sebagai eksekutor terakhir," ujarnya, menegaskan.
Teguh juga memastikan Cyber Drone 9 tidak dibekali ‘senjata pembunuh’ akun, situs, ataupun sejenisnya. Tak hanya itu, mesin sensor bukan mesin penyadap penggunaan internet yang memakai sistem Deep Packet Inspection (DPI).
"Jangan khawatir. Kami dan tim berkomitmen menjaga jarak dengan urusan yang berkaitan dengan politik atau kepentingan tertentu," jelas teguh.
Keberadaan polisi internet ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya dasar hukumnya di Pasal 2 dan Pasal 40 ayat (2). (ren)