BPPT Pilih NTT untuk Mulai Lepas Ketergantungan Garam Impor
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA – Indonesia sedang berupaya menekan ketergantungan impor garam. Untuk itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi dan PT Garam (Persero) bekerjasama membangun pilot project pabrik garam untuk industri di Bipolo, Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Kepala BPPT Unggul Priyanto, mengatakan, sebenarnya Indonesia memiliki potensi memproduksi garam industri tanpa harus impor.
Akan tetapi, selama ini yang menjadi masalah adalah persoalan kualitas garam yang belum memenuhi standar, lahan sempit dan tidak optimalnya hasil karena masih terkendala teknologi.
Pilot project ini berada di kawasan lahan penggaraman terintegrasi seluas 400 hektar, di mana dari luas lahan tersebut bisa menghasilkan 40 ribu ton per tahun.
Unggul memperkirakan, metode lahan yang terintegrasi dan pengolahan di pabrik pilot project ini bisa meningkatkan produksi garam menjadi 90 persen.
Tak hanya Kupang, Unggul menuturkan, beberapa wilayah di NTT juga memiliki potensi menghasilkan garam.
"Sabu Raijua, Nagekeo, Ende, dan Waingapu," kata dia, usai penandatanganan kerja sama di Gedung BPPT, Jakarta, Senin, 20 November 2017.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Utama PT Garam, Budi Sasongko, menambahkan, anggaran pembangunan pabrik garam ini sebesar Rp 45 miliar.
"Pilot project akan dimulai akhir tahun ini dan pada tahun 2019 mulai beroperasi," paparnya.
Menurutnya, untuk menghilangkan ketergantungan impor garam dibutuhkan 30 ribu hektar lahan fluktuatif, dengan garam yang dihasilkan lebih dari 2 juta ton per tahun.
"Saat ini Indonesia impor garam dari Australia rata-rata 1,8 juta ton per tahun. Dengan adanya pilot project ini kita berusaha menekan laju impor garam di tahun 2020," ujar Budi.