Dampak Buruk Nuklir, 126 Stasiun Pemantau Radiasi Dibangun
- VIVA.co.id/Muhammad Yasir
VIVA.co.id – Badan Pengawas Tenaga Nuklir atau Bapeten sedang mempersiapkan 126 stasiun pemantau radiasi nuklir di Indonesia. Tujuannya untuk mengantisipasi penyalahgunaan teknologi nuklir yang dapat membahayakan masyarakat.
"Rencananya kami akan memasang 126 RDMS (Radiation Data Monitoring System). Kenapa 126, karena itu (akan ditempatkan) di stasiun BMKG seluruh Indonesia," ungkap Kepala Bapeten, Jazi Eko Istiyanto, di Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Kamis, 12 Oktober 2017.
"Daripada kami bangun salurannya sendiri, jadi numpang saja di BMKG. Karena BMKG juga sudah punya sistem yang dapat mendeteksi gempa dari percobaan nuklir Korea Utara," ungkapnya.
Jazi menjelaskan, tujuan dari pemasangan stasiun pemantau radiasi nuklir itu agar meminimalkan dampak buruk yang dapat terjadi. Selain itu, stasiun itu nantinya berfungsi memberikan pemahaman bagi masyarakat tentang bahaya nuklir.
"Kenapa kami pasang itu? Kami mau masyarakat menyadari, meskipun Indonesia tidak punya PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir), tapi ancaman itu bisa juga datang dari teroris nuklir," ungkapnya.
Jazi pun mengaitkan hal itu dengan serangan teror yang terjadi di Kota Bandung, Jawa Barat, pada Juli lalu. Dia menganggap, kasus itu hampir mengarah kepada bentuk serangan menggunakan senjata berbasis nuklir.
Ia mengatakan, bom kimia pada Juli lalu, mengandung unsur thorium. Dalam dunia nuklir, unsur thorium bisa digunakan untuk membangkitkan kekuatan nuklir.
"Kalau baca berita yang di Bandung itu, kan sudah menggunakan kaus lampu petromaks. Itu mengandung thorium, tapi kan gagal," ujarnya.
Jazi menuturkan, beruntung aksi teroris itu berhasil digagalkan. Penggunaan unsur thorium jika disebarkan melalui udara bakal menimbulkan dampak yang mematikan dan masif tanpa begitu disadari.
"Tapi, kalau misalnya dia (pelaku) pakai drone, kemudian disebar seperti menebar pupuk, lalu di kerumunan disebar, orang yang kena itu tidak luka, tidak terbakar, tidak menyadari, tapi dia kena efek radiologis. Entah kapan efeknya itu akan kena kanker beberapa tahun kemudian, atau anak cucunya yang mengalami permasalahan genetis," ujarnya.
Menurutnya, masyarakat yang umumnya khawatir dengan pembangunan PLTN merupakan respons yang lazim dan bisa dipahami.
"PLTN masih bisa kami awasi. Kan di satu tempat. Beda dengan istilahnya bom kotor itu tadi ya. Teroris bisa simpan di tempat keramaian. Di stadion, di pasar, di mal, di toilet masjid, bisa di mana saja. Bom kotor itu memang tidak dimaksudkan meledak, tapi bagaimana radiasinya itu bisa menyebar," tuturnya.