Begini Teknologi Nuklir Untungkan Petani RI
- ANTARA FOTO/Yusran Uccang
VIVA.co.id – Radiasi nuklir punya banyak manfaat untuk terapan tanaman pangan. Salah satunya fokus mendapatkan bibit unggul sehingga menciptakan produktivitas tanaman.
Badan Teknologi Nuklir Nasional (Batan) sudah sejak lama menginisiasi inovasi pemuliaan mutasi tanaman (mutation breeding) menggunakan radiasi nuklir. Alhasil, produk yang bibitnya diradiasi produktivitasnya meningkat dari bibit normal.
"Misal padi 5-6 ton per hektare, kita (pemuliaan mutasi) bisa 9 ton per hektare. Jarak tanam, misal Pandan Wangi 4 bulan, kita ubah jadi Pandan Putri (setelah radiasi), bisa panen dalam 3 bulan," jelas Peneliti Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR), Batan, Soeranto Human, di Gedung Batan, Pasar Jumat, Jakarta, Jumat 6 Oktober 2017.
Soeranto menegaskan, dengan varietas padi diradiasi tentunya akan menambah pendapatan bagi petani, di tengah mulai terjadinya krisis lahan pertanian. Manfaat lainnya, meningkatkan ketahanan pangan masyarakat Indonesia, dengan produktivitas meningkat dan waktu panen singkat.
Pemuliaan tanaman dengan nuklir, awalnya melalui fase radiasi nuklir yaitu sinar gamma. Radiasi tersebut menyasar DNA tanaman, lalu susunan kimia berubah akibat radiasi. Sehingga sasaran pada tananan bisa memendekkan batang atau sebaliknya, memendekkan umur, meningkatkan produksi biji, kadar minyak dan lainnya.
Produktivitas dan keunggulan bibit bisa disesuaikan dengan jenis tanaman. Misal, tanaman padi yang dibutuhkan adalah batang pendek agar tidak runduk dan umur yang pendek agar cepat panen.
Petani makin sedikitÂ
Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia belum lama ini menunjukkan jumlah petani di tanah air mulai menurun. Profesi petani tidak diminati oleh para pemuda sebagai generasi penerus.
Sementara saat ini, menurut riset LIPI, rata-rata usia petani nasional mayoritas berumur 45 tahun ke atas. Rata-rata usia petani di tiga desa pertanian padi di Jawa Tengah mencapai 52 tahun. Namun, kaum muda yang bersedia melanjutkan usaha tani keluarga di sana hanya sekitar tiga persen.
LIPI mengungkapkan, para pemuda kebanyakan mengadu nasib ke kota, sebab menjadi petani tidak menjanjikan bagi kelangsungan hidup mereka.
Sementara, menurut data Food and Agriculture Organization atau organisasi pangan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada 2014 pangan nasional dan global diproduksi masing-masing oleh 90 persen dan 80 persen pertanian keluarga skala kecil.