Jumlah Sperma Menurun, Manusia Bisa Punah
- Pixabay
VIVA.co.id – Peneliti mengumumkan temuan yang cukup mengkhawatirkan atas masa depan eksistensi manusia. Dalam analisisnya pada hampir 200 studi soal sperma dari 1973 sampai 2011, peneliti menemukan jumlah sperma dari pria di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Selandia Baru telah menurun setengah dalam kurun kurang dari 40 tahun.
Peneliti menemukan, ada penurunan konsentrasi sperma yang mencapai 52,4 persen, selain itu total jumlah sperma di ketiga area tersebut telah menurun sampai 59,3 persen.
Dalam analisisnya, dikutip dari BBC, Rabu 26 Juli 2017, peneliti dalam studi itu mengindikasikan, adanya tingkat penurunan kualitas hidup para kaum adam di ketiga area tersebut, bahkan tren itu bakal terus berlanjut dan malah makin meningkat jumlahnya. Temuan ini membuat peneliti khawatir, manusia bakal menghadapi kepunahan.
Untungnya, tren penurunan jumlah sperma itu tak melanda kaum adam di belahan dunia lain. Studi menyebutkan, tidak ada penurunan jumlah sperma yang signifikan di Amerika Selatan, Asia dan Afrika. Tapi peneliti menekankan, pada ketiga daerah terakhir itu belum banyak data riset yang diambilnya. Dengan demikian, ada kemungkinan Amerika Selatan, Asia dan Afrika juga dilanda penurunan jumlah sperma.
Pemimpin studi tersebut, Hagai Levine sangat khawatir tentang kemungkinan dampak buruk manusia di depan, yakni kepunahan manusia.
"Jika kita tak melakukan perubahan cara hidup dan bagaimana kita terpapar lingkungan dan kimia, saya sangat khawatir apa yang akan terjadi di masa depan, yakni punahnya spesies manusia," ujar Levine, yang merupakan ahli epidemiologi.
Peneliti lain di luar studi itu, Allan Pacey mengakui dia tak sepenuhnya yakin dengan hasil kesimpulan studi itu. Tapi peneliti dari Universitas Sheffield, Inggris menghargai upaya riset tersebut. Menurut Pacey, penurunan jumlah sperma bisa saja terkait dengan gaya hidup misalnya bahan kimia dalam pestisida dan plastik, obesitas, merokok, stres, diet dan menonton televisi terlalu banyak.
Studi peneliti ini menguatkan temuan studi sebelumnya yang mengindikasikan temuan penurunan jumlah sperma di beberapa negara berkembang.
Temuan dalam studi itu memang direspons beragam. Ada sekelompok yang skeptis dengan temuan itu dan menilai studi masih prematur untuk menyimpulkan dampak di masa depan.
Kemudian para skeptis menyoroti soal proporsi data dalam riset itu yang tergolong 'cacat', misalnya jumlah sampel pria yang kecil, hanya pria yang mendatangi klinik kesuburan saja yang masuk dalam data. Belum lagi soal metode perhitungan jumlah sperma yang diduga telah dilebih-lebihkan dari jumlah yang sebenarnya. Dengan data yang 'cacat' itu maka wajar kesimpulannya jumlah sperma menurun.