Blokir Telegram, Kemkominfo: Kami Tidak Gegabah
- VIVA.co.id/ Putri Firdaus
VIVA.co.id – Pemblokiran layanan Telegram versi website oleh Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemkominfo) pada Jumat, 14 Juli 2017 banyak menuai kritik. Tidak sedikit yang menganggap keputusan ini terlalu cepat, gegabah bahkan dianggap sebagai blunder pemerintah.
Namun, pihak Kemkominfo melalui Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika, Samuel Abrijani Pangerapan mengatakan, pemblokiran ini dilakukan setelah melewati serangkaian kajian dan pemantauan bekerjasama dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme).
"Banyaknya kegiatan propaganda, penyebaran info, pengkaderan melalui aplikasi ini karena mereka yakin bisa sembunyi. Itu sebabnya kita harus ambil langkah cepat," kata Samuel dalam konferensi pers di Gedung Kemkominfo, Jakarta, Senin, 17 Juli 2017.
Dalam konferensi pers tersebut Kemkominfo menyertakan beberapa kasus terorisme yang komunikasinya memanfaatkan aplikasi ini. Terdapat sekitar 17 kasus terorisme yang ditayangkan sejak 2015 lalu.
"Ini semua yang sudah ditangani, salah satunya ada pemboman mobil di tempat ibadah 23 Desember 2015 mereka gunakaan Telegram untuk komunikasi," kata dia.
Pihak Kemkominfo mengaku telah menyurati pihak Telegram melalui email sebanyak enam kali sejak 29 Maret 2017 sampai 11 Juli 2017. Semua email tersebut diterima namun tidak mendapat tanggapan.
Dengan tidak adanya respons hingga Kamis malam, 13 Juli 2017 Kemkominfo memutuskan untuk memblokir Telegram versi web pada 14 Juli 2017 pukul 11.30. Kemkominfo memerintahkan seluruh ISP (Internet Service Provider) untuk memblokir 11 Domain Name System (DNS) terkait layanan Telegram berbasis web.