Mengenal Erupsi Freatik dan Sejarah Mematikan Sileri
- VIVAnews/Bayu Galih
VIVA.co.id – Kompleks wisata Gunung Dieng mendadak diliputi kengerian, khususnya di sekitar Kawah Sileri, Desa Kepakisan, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah pada Minggu siang, 2 Juli 2017.
Letusan dari lubang kawah tersebut mengepulkan asap diikuti dengan luncuran lahar dengan ketinggian mencapai 200 meter. Erupsi ini melukai setidaknya 17 orang di sekitar kawah, yang mayoritas adalah wisatawan.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengungkapkan bahwa letusan yang terjadi di Kawah Sileri merupakan erupsi freatik. Relawan kebencanaan, Ma'rufin Sudibyo, menjelaskan, dalam vulkanologi, erupsi freatik merupakan letusan yang ditenagai oleh uap air bertekanan.
Dia menganalogikan proses erupsi freatik mirip sekali saat kita mendidihkan air dalam ketel tertutup rapat hingga ketel meledak.
"Ketel meledak karena tak kuat menahan tekanan uap air yang terus meningkat. Nah erupsi freatik juga begitu," jelas Ma'rufin kepada VIVA.co.id, Minggu malam 2 Juli 2017.
Dalam kajian vulkanologi, ujar Ma'rufin, dikenal dua jenis erupsi berdasarkan tenaga penggeraknya, yakni freatik dan magmatik.
Erupsi freatik tenaga penggeraknya adalah uap air, sedangkan erupsi magmatik digerakkan oleh magma segar yang baik dari dapur magma.
Dia menjelaskan, erupsi freatik sejatinya juga disebabkan oleh magma segar maupun magma sisa.
Magma sisa adalah magma yang mengalir ke atas dalam sebuah letusan gunung api, namun ia tak keluar dari lubang letusan sehingga tertahan di dalam saluran magma (diatrema).
"Jika disebabkan magma segar, maka ia (erupsi freatik) akan menjadi awal episode letusan gunung api, sebelum erupsi magmatik terjadi," kata dia.
Skema ini bisa dilihat pada erupsi Gunung Sinabung. Erupsi pembukaan pada 2010 merupakan erupsi freatik. Kemudian awal letusan Gunung Sinabung pada 2013, sebelum erupsi magmatik ditandai dengan munculnya awan panas.
Erupsi freatik yang disebabkan magma sisa biasanya berdiri sendiri dan berlangsung dalam waktu singkat.
"Ini terjadi pada kasus erupsi freatik di Gunung Merapi pada 2010-2014," ujarnya.
Terkait dengan erupsi freatik, jika air bawah tanah dipanaskan oleh magma segar atau magma sisa, akan melahirkan uap meski magma tak bersentuhan langsung. Sebab magma merupakan penghantar panas yang sangat buruk. Ma'rufin menuturkan, magma sisa pun sejatinya suhunya tetap tinggi untuk ukuran manusia. Sebagai gambaran jika mengebor kubah lava produk letusan Gunung Merapi seabad silam, maka di area dasar kubah suhunya tetap masih tinggi, walau telah 100 tahun lewat.
Dalam kasus air bawah tanah terpanaskan oleh magma, maka jika uapnya tak bisa mengalir bebas ke udara maka akan terjadi akumulasi dengan meningkatnya tekanan.
"Jika tekanannya sudah terlalu besar, maka batuan tudung yang menutupi di atasnya pun bisa dijebol sehingga uap mengalir deras vertikal," kata dia.
Tingginya tekanan membuat uap air bisa menggerus bahkan sampai mengangkut bebatuan di sepanjang lintasannya.
Dari sisi suhu material letusan, pada vulkanologi bisa dipakai untuk membedakan kategori erupsi freatik atau magmatik. Jika suhu materialnya di bawah 200 derajat celsius maka itu adalah erupsi freatik, sementara jika suhunya lebih besar dari 600 derajat celsius maka itu kategori erupsi magmatik.
Analisis Kawah Sileri
Ma'rufin menuturkan, melihat ciri-ciri letusan di Kawah Sileri, memang kuat adalah erupsi freatik. Dia mengatakan, letusan kawah di Gunung Dieng tergolong singkat, dan material letusan telatif dingin.
Area Kawah Sileri memang menunjukkan ciri khas aktivitas vulkanik Dieng masa kontemporer yang hampir seluruhnya adalah erupsi freatik.
"Yang bikin susah, erupsi freatik seringkali tanpa tanda-tanda awal. Tiba-tiba saja meletus," ujarnya.
Bahkan seismograf Stasiun Geofisika BMKG Banjarnegara, menurut Ma'rufin, susah mendeteksi erupsi ini. Alat itu tak bisa merekam jejak erupsi freatik, karena terlalu lemah.
Ma'rufin menuturkan, dugaan kuatnya erupsi freatik Kawah Sileri terjadi lantaran lubang kawah itu diguyur hujan deras dalam sebulan terakhir. Menurutnya hujan mengirim pasokan air berlimpah ke dasar bawah kawah. Sehingga prosesnya menghasilkan uap air bertekanan yang lama kelamaan meledak.
Sejarah Mematikan
Mengingat susahnya mendeteksi erupsi freatik, Ma'rufin mengatakan salah satu cara yang optimal untuk mengantisipasinya yakni mengkaji jejak sejarah letusannya.
Dalam kasus Kawah Sileri, PVMBG sudah merilis peringatan erupsi freatik. Badan vulkanologi itu sudah merilis cikal erupsi freatik pada 30 April dan 24 Mei 2017. Begitu mengendus jejak awal letusan itu, PVMBG mengingatkan pihak-pihak terkait, termasuk pengelola kawasan wisata Gunung Dieng.
Rekomendasi PVMBG yakni membatasi pengunjung kawah hingga radius 100 meter dari bawah kawah Sileri. Tapi sayang peringatan itu tak diperhatikan pengelola wisata.
Menurut catatan sejarah, Ma'rufin mengungkapkan, Kawah Sileri sudah berkali-kali mengalami erupsi freatik, dan beberapa kasus sangat mematikan.
"Erupsi freatik pada 1944 membunuh tak kurang dari 114 orang. Padahal ya 'hanya' erupsi freatik juga," jelasnya.
Untungnya, erupsi freatik Kawah Sileri tak diikuti dengan tebaran CO2 semacam Sinila dan Timbang. Jika Kawah Sileri 'gemar' meletus dengan senyawa itu maka akibatnya bakal lebih buruk.
"Sehingga erupsi kemarin siang tak diikuti dengan keracunan gas massal layaknya Tragedi Sinila 1979," katanya. (ren)