Persekusi di Media Sosial Terjadi karena Aparat Hukum Diam
- VIVAnews/ Adri Irianto
VIVA.co.id – Akhir-akhir ini, media sosial menjadi ajang tindakan persekusi. Ajakan ini biasanya diserukan terhadap sebuah postingan di media sosial yang menyinggung kelompok tertentu.
Maraknya persekusi atau perburuan sewenang-wenang terhadap seorang atau sejumlah warga oleh individu atau kelompok tertentu, dianggap sebagai pembenaran.
Sementara itu, pihak polisi sendiri menyarankan pengguna media sosial yang merasa terancam agar melapor. Pengakuan dokter Fiera Lovita di Solok, Sumatera Barat, yang merasa terancam setelah didatangi kelompok tertentu terkait unggahannya di media sosial, adalah contohnya.
Pegiat media sosial, Nukman Luthfie mengatakan, kejadian ini sudah berlangsung sejak 27 Januari, bersamaan persidangan terhadap Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
"Hingga kini sudah ada 54 orang pengguna media sosial yang dipersekusi di seluruh Indonesia. Saya melihat kasus dokter Fiera terjadi karena ada pembiaran dari aparat hukum," ujar Nukman kepada VIVA.co.id, Senin, 29 Mei 2017.
Ia kemudian menganalogikannya dengan pelanggaran lalu lintas. "Kalau satu pengendara melanggar (lalin) lalu polisi tahu dan didiamkan, maka (pengendara) yang lainnya ikut-ikutan," tutur dia.
Oleh karena itu, Nukman menegaskan bahwa kunci dari pengakhiran persekusi ini ada di tangan penegak hukum.
"Ya (aparat) harus tegas. Komentar di medsos, kemudian di-bully masih nggak masalah. Karena diskusi. Tapi kalau sampai meneror dengan cara diburu. Itu sudah pidana," kata dia.
Ia pun memberi saran kepada pengguna yang ingin bercuit di media sosial. Salah satunya mengenai adanya sanksi hukum.
"Ketika mem-posting sesuatu ke medsos, artinya sudah jadi konsumsi publik. Harus ingat ada hukum sosial dan hukum positif. Ini tujuannya agar pengguna lebih bijak dalam mempublikasi sesuatu," ungkap Nukman.