Smart Glukokids, Alat Deteksi Diabetes Buatan Mahasiswa USU

Cek Diabetes di Klinik Diabetes Care di Jakarta.
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA.co.id – Untuk mendeteksi penyakit diabetes sejak dini, biasanya orang menggunakan alat pengukur glukosa dalam darah. Jika kadar glukosa tinggi, artinya seorang itu positif terkena diabetes.

Jaga Gula Darah Stabil dengan 12 Makanan Super Ini untuk Diabetes

Tapi, ternyata, deteksi glukosa melalui darah kurang efektif, sebab di dalam darah pasti ada gula, jadi tes lanjut diperlukan untuk mengetahui spesifikasinya. 

Itulah yang menjadi salah satu alasan mahasiswa Universitas Sumatera Utara (USU) membuat alat pendeteksi diabetes dengan membaca urin. Yosatria Juanka Sibarani dan Nurul Anisha Hakim, mahasiswa yang meneliti, menamakan alat deteksi glukosa melalui urin itu dengan Smart Glukokids.

Dianggap Berisiko! 6 Kondisi Kehamilan Ini Disarankan Periksa ke Konsultan Fetomaternal, Apa Itu?

"Organ ginjal adalah organ terakhir yang meregulasi gula, kalau ginjal tidak bisa meregulasi gula, maka gula keluar beserta dalam kencing," jelas Nurul kepada VIVA.co.id, saat ditemui dalam acara yang diselenggarakan Tonato Foundation, di Annex Building, Jakarta, Selasa 21 Maret 2017.

Nurul menjelaskan, bahan dasar yang mereka gunakan untuk membaca glukosa melalui urin ialah elektroda dua plat sejajar atau dielektrik. Ini merupakan suatu bahan atau material yang berfungsi sebagai material penghantar arus listrik yang terbuat dari tembaga.

IDI Banjarnegara Memberi Edukasi Bahaya Penyakit Diabetes dan Pengobatan yang Tepat

Dielektrik diaplikasikan sebagai pendeteksi kadar konsentrasi gula di dalam urin. Seyogyanya, jika urin mengandung gula, maka tegangan yang dihasilkan akan rendah, sebab gula merupakan larutan non elektrolit.

"Jika dicelupkan sensor (dielektrik), maka gula tidak akan mengalirkan listrik, makanya tegangan jadi rendah," kata Nurul.

Nah, untuk mengetahuinya, jika positif diabetes, dielektrik akan mengeluarkan bunyi.

Begitu sebaliknya, jika dalam urin tidak mengandung gula, ketika dicelupkan, dielektrik tegangan yang dihasilkan akan tinggi. Sensor pun tidak berbunyi, artinya negatif diabetes.

Nurul menambahkan, untuk dielektrik karena terbuat dari tembaga, perlu dijaga agar tidak berkarat. Mereka mengakali dengan 'mengoleskan' Carboxymethyl Cellulosa (CMC) dari limbah tandan kosong kelapa sawit ke dielektrik.

CMC ini merupakan turunan dari selulosa yang didapat dari limbah tandan kosong sawit. Ketika limbah diekstrak, selulosa didapat, kemudian diberi pereaksi hingga menjadi CMC.

"Pengolesan CMC tidak perlu sering-sering, cukup sekali, dielektrik bisa dipakai berulang-ulang," jelas Nurul.

Dielektrik bukan seperti alat pendeteksi kadar glukosa dalam darah, di mana menggunakan strip lalu dibuang. Dielektrik bisa digunakan seterusnya, cukup celupkan pada sampel, setelah itu dicuci, alat bisa dipakai kembali.

"Alat mendeteksi kadar glukosa dalam darah, tentunya menghasilkan limbah, jarum steril,  strip dan itu memerlukan safety tinggi," tambah Nurul.

Maka dari itu, mereka berharap penemuan ini bisa menjadi alternatif untuk pencegahan dan pendeteksian dini penyakit diabetes. Smart Glukokids juga bisa mendukung dunia kesehatan di Indonesia.

USU merupakan salah satu dari lima Universitas yang didanai Tonato Foundation. Inovasi Nurul dan Yosatria pun terpilih untuk didanai.

"Dalam setahun kita berikan Rp150 juta per Universitas," kata Ketua Pengurus Tonato Foundation, Sihol Aritonang.

Penelitian mahasiswa yang layak untuk didanai dipilih oleh Universitas terkait, setelah para mahasiswa mengajukan proposal mereka.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya