Canggih, Teknologi AI Bisa Prediksi Serangan Jantung dan Stroke
- VIVA.co.id / Januar Adi Sagita (Surabaya
VIVA – Dunia hiburan Tanah Air dikejutkan dengan meninggalnya aktor, Ashraf Sinclair, pada hari ini, Selasa 18 Februari 2020. Suami dari Bunga Citra Lestari (BCL) itu menghembuskan napas terakhir pada usia 40 tahun, karena serangan jantung.
Berkaitan dengan teknologi kesehatan dan tingginya angka kematian akibat serangan jantung, kini kecerdasan buatan dan teknologi kesehatan semakin canggih. Dan salah satu inovasi pertamanya adalah memahami semua pemindaian yang dipesan oleh dokter.
Dilansir Time, hasil penelitian telah menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus alat berbasis AI dapat memilih pertumbuhan abnormal yang bisa mendeteksi tumor kanker lebih baik daripada dokter, terutama karena mencerna dan mensintesis volume besar informasi, dan ini adalah yang terbaik dari apa yang AI lakukan.
Dalam sebuah studi yang diterbitkan pada 14 Februari di Circulation, para peneliti di Inggris dan AS melaporkan bahwa program AI dapat memprediksi serangan jantung dan stroke. Kristopher Knott, seorang peneliti di British Heart Foundation dan timnya melakukan studi terbesar yang melibatkan pencitraan resonansi magnetik kardiovaskular (CMR) dan AI.
CMR adalah pemindaian yang mengukur aliran darah ke jantung dengan mendeteksi berapa banyak otot jantung. Semakin kuat aliran darah, semakin kecil kemungkinan akan ada penyumbatan di pembuluh jantung.
"Namun, membaca pindaian itu memakan waktu dan melelahkan, dan itu juga lebih kualitatif daripada kuantitatif," kata Knott.
Untuk mencoba mengembangkan alat yang lebih kualitatif, Knott dan rekannya melatih model AI untuk membaca pindaian dan belajar mendeteksi tanda-tanda aliran darah yang terganggu. Ketika mereka menguji teknologi pada pemindaian lebih dari 1.000 orang yang membutuhkan CMR karena mereka berisiko terserang penyakit jantung atau telah didiagnosis, mereka menemukan model AI bekerja dengan sangat baik dalam memilih mana orang yang lebih berisiko mengalami serangan jantung atau stroke, atau meninggal karena kedua penyakit tersebut.
Studi ini membandingkan analisis berbasis AI dengan hasil kesehatan dari pasien, yang diikuti selama sekitar 20 bulan rata-rata. Para peneliti menemukan bahwa untuk setiap penurunan 1 ml/g/menit dalam aliran darah ke jantung, risiko kematian akibat kasus jantung hampir dua kali lipat, dan risiko mengalami serangan jantung, stroke atau kasus lain lebih dari dua kali lipat.
"Daripada melihat secara kualitatif aliran darah ke otot jantung, kita mendapatkan angka kuantitatif. Dan dari jumlah itu, kami telah menunjukkan bahwa kami dapat memprediksi orang mana yang berisiko lebih tinggi terhadap kejadian buruk," kata dia.
Studi ini mengonfirmasi bahwa CMR adalah penanda kuat untuk risiko masalah jantung, tetapi tidak membuktikan bahwa pemindaian sebenarnya dapat digunakan untuk menggantikan diagnosa dokter tentang orang yang berisiko lebih tinggi.
Untuk itu, studi lebih lanjut perlu dilakukan untuk mendokumentasikan apakah teknologi AI benar-benar dapat memprediksi, mengurangi atau bahkan mengobati serangan jantung dan stroke.
Tujuannya untuk memasukkan analisis aliran darah berbasis AI sebagai bagian dari tes yang digunakan dokter di ruang gawat darurat untuk mendiagnosis dan menentukan triase pasien jantung. Informasi ini dapat membantu memindahkan orang yang berisiko tertinggi ke perawatan yang lebih cepat dan berpotensi menyelamatkan nyawa mereka.