Bukan Iklim Ekstrem, Ini Sebab Timbulnya Banyak Bencana Alam

Kawasan pinggir pantai yang mengalami kerusakan akibat bencana Tsunami di Pantai Tanjung Lesung, Banten, Jawa Barat, Minggu, 23 Desember 2018.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

VIVA – Beberapa waktu belakangan, Anda mungkin sering mendengar bencana banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Tanah Air. Banyak yang menduga ini akibat curah hujan yang besar. Padahal, banjir sebenarnya adalah bencana yang sangat mungkin bisa diminimalisir risikonya.

Di Hadapan Sekjen PBB, Prabowo Tegaskan Komitmen Indonesia terhadap Energi Terbarukan

Menurut Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto, dalam hidroklimatologi, sebenarnya semua itu adalah sesuatu yang bisa diprediksi.

"Jika kita lihat kejadian bencana dari tahun 2014, lebih dari 80 persen adalah hidroklimatologi," ujar Achmad saat temu media di Gedung Kemenkes, Jakarta, Kamis, 18 April 2019.

Menyambut Hari Tata Ruang Nasional : Pentingnya Perencanaan Tata Ruang untuk Masa Depan Indonesia

Belajar dari gempa yang terjadi di Kobe, Jepang, melalui kajian yang dilakukan oleh komunitas kebencanaan, mereka menanyakan siapa yang menyelamatkan kelompok yang selamat. Ternyata jawabannya, 90 persen dari mereka diselamatkan oleh diri sendiri atau orang terdekat.

Sementara, peran petugas penyelamat tidak terlalu banyak. Dari sini dapat disimpulkan bahwa masyarakat perlu diberdayakan sebagai kekuatan utama dalam situasi bencana.

Inovasi Baru dalam Mengelola Risiko terkait Perubahan Iklim

Jika hidroklimatologi adalah sesuatu yang bisa diprediksi, maka ada alat atau early warning system yang mengantisipasi bencana sehingga kemungkinan jatuhnya korban bisa dikurangi. Meski, tidak mutlak menghilangkan bencana itu.

Contohnya, banjir bandang di Bangka Belitung yang terjadi pada Desember 2018. Banyak yang menyalahkan perubahan curah hujan. Padahal yang sebenarnya berubah adalah struktur tanah.

"Di zaman Sriwijaya tidak ada eksploitasi timah habis-habisan hingga membuat lubang besar dan menjadi kolam-kolam yang lama kelamaan tidak lagi mampu menampung air dan jebol terjadilah banjir bandang," urai Achmad.

Bencana ini dikelompokkan ke dalam man made disaster dan variabel inilah yang diupayakan agar berkurang.

Dengan mendasarkan cara berpikir menangani bencana pada apa yang terjadi di Jepang, pemerintah memiliki acuan Undang Undang No 24 mengenai bencana, di mana yang bertanggung jawab atas pengelolaan bencana adalah pemerintah dan pemerintah daerah.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2018, yang diamanatkan mulai dilakukan 1 Januari 2019 tentang standar pelayanan minimum (SPM), penanganan kebencanaan adalah urusan wajib yang harus dilaksanakan pemerintah karena ada hak warga negara di dalamnya.

Di dalam SPM ini juga mencakup pengetahuan bencana bagi masyarakat. Pemerintah daerah wajib memetakan wilayah-wilayah bencana di daerahnya sehingga warga bisa memahami risiko tempat tinggalnya dan mengantisipasi bencana (tsy)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya