Bintang Buatan Ini Diluncurkan, Astronom Marah Besar
- www.theguardian.com
VIVA – Perusahaan antariksa swasta berbasis di Selandia Baru, Rocket Lab, mengguncang astronom dunia, setelah meluncurkan bola disko raksasa ke luar angkasa pada pekan lalu. Â
Roket perusahaan antariksa swasta itu meluncurkan bola yang dinamai Humanity Star. Peluncuran ini alih-alih dipuji, astronom malah marah dengan bola buatan tersebut.
Objek ini disebut juga sebagai bintang palsu, atau bintang buatan. Humanity Star berwujud bola geodesi lebar tiga kaki dari serat karbon dan dilengkapi 65 panel sangat reflektif.
Rocket Lab mengklaim bintang buatan itu mampu memantulkan kembali cahaya matahari ke seluruh tempat di bumi. Diperkirakan, objek ini akan menjadi yang paling terang di langit malam untuk sembilan bulan ke depan.
Chief Executive Officer dan Pendiri Rocket Lab, Peter Beck mengatakan, Humanity Star dibuat untuk berbagi pengalaman yang sama dengan semua orang di planet ini.
Namun, banyak ahli astrofisika tidak setuju dan marah dengan dengan peluncuran bintang buatan tersebut. Polusi udara saja sudah menjadi masalah besar bagi penelitian benda luar angkasa. Dengan adanya Humanity Star dan pantulan cahaya mataharinya membuat peneliti semakin sulit bekerja.
"Gagasan besarnya bisa membuat astronom kesulitan. Saya bisa mengerti bahwa bisa membahagiakan hal seperti ini namun saya juga bisa merasakan mereka tidak menyadari bahwa orang lain bisa melihat sisi negatifnya dari peluncuran Humanity Star," ujar astronom Universitas Auckland Selandia Baru, Richard Easther dilansir dari The Guardian, Minggu 28 Januari 2018.
Direktur Astrobiologi dari Universitas Columbia Amerika Serikat, Caleb Scharf menuliskan dalam blog Scientific American, manusia hidup di bumi sudah memiliki irama alaminya masing-masing. Termasuk, pergantian siang dan malam. Produk yang berkedip tersebut dikeluhkan bakal menyilaukan mata.Â
"Kebanyakan dari kami tidak berpikir Humanity Star sangat lucu, jika saya mengarahkan cahaya ke beruang kutub atau memajang slogan perusahaan saya di atas Gunung Everest," ujar Scharf.