Sengkarut Liga 1 Hingga Krisis Multidimensi di Tubuh PSSI
- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
VIVA – PSSI akhirnya memutuskan untuk menghapuskan Liga 1 2020 seperti yang sudah mereka rencanakan sejak tahun lalu. Dalam rapat Anggota Komite Eksekutif PSSI beberapa hari lalu, disepakati untuk mengikuti keinginan mayoritas klub Liga 1 yang meminta saatnya menatap musim 2021.
Proses dalam upaya melanjutkan Liga 1 2020 menemui jalan berliku. PSSI sempat mewacanakan bakal menggulirkan kembali kompetisi kasta tertinggi di Indonesia itu pada Oktober 2020, tapi kemudian terhambat izin keramaian Kepolisian.
Alasan Kepolisian ketika itu tingkat penyebaran pandemi COVID-19 masih tinggi. Klub pun sangat kecewa, karena sejak beberapa bulan sebelumnya mereka sudah menggelar persiapan dan itu membutuhkan dana yang tidak sedikit.
Setelah itu PSSI menjanjikan kompetisi akan dilanjutkan kembali pada Februari 2021. Lagi-lagi itu cuma sekadar janji, hingga akhirnya klub bersuara meminta agar organisasi pimpinan Mochamad Iriawan melupakan saja keinginannya tersebut.
Kesulitan PSSI dalam mengambil hati Kepolisian ini jadi sorotan banyak pihak. Padahal jauh sebelumnya mereka sudah bicara meyakinkan dengan modal telah membuat protokol kesehatan yang ketat dan akan diterapkan ketika kompetisi digulirkan kembali.
Pengamat dari Football Institue, Budi Setiawan melihat masih ada upaya yang belum dilakukan oleh PSSI. Seharusnya mereka juga melibatkan beberapa pihak lain sehingga bisa memunculkan solusi terbaik.Â
"Masalah-masalah sepakbola hari ini tidak bisa hanya mengandalkan misalnya PSSI sendiri dan/atau Kepolisian. Perlu keterlibatan Pemerintah melalui institusi dan instrumen negara yang lain, sektor swasta, civil society, dan akademisi," kata Budi kepada VIVA, Jumat 22 Januari 2021.
"Memastikan kepentingan berbagai pihak didengar dan membawa solusi-solusi terbaik. Hingga hari ini kita tidak melihat kolaborasi itu, sehingga menemui jalan buntu dalam menyelenggarakan kompetisi," imbuhnya.
Budi juga menilai PSSI masih belum terlalu masif dan kreatif dalam mengampanyekan programnya. Sehingga apa yang mereka rancang selama ini tidak tersampaikan dengan jelas ke publik.
"PSSI perlu melakukan kampanye yang lebih masif dan kreatif, kampanye yang lebih argumentatif, sehingga membuat masyarakat terutama negara (pemerintah) menjadi clear dan jelas," tutur Budi.
Ketidakjelasan itulah yang kemudian menyebabkan PSSI semakin banyak mendapatkan kritik, termasuk dari masyarakat pecinta sepakbola Indonesia. Dan dampaknya otoritas tertinggi sepakbola Indonesia itu mengalami krisis multidimensi.
"PSSI harus melakukan langkah dan penjelasan dengan betul-betul masuk akal, persuasif, dan mendidik bagi masyarakat. Sehingga apa yang menjadi stigma buruk kepada PSSI dapat dikikis," katanya.
"Tidak heran jika saat ini PSSI dianggap tidak kredibel, pengurus PSSI tidak dianggap. Karena krisis multidimensi itu tadi. Gagap dan Gagal beradaptasi," tambah Budi.