The Legendary: Kisah Jacksen Tiago Ditipu dan Romansa Indonesia
- VIVA.co.id/Rahmad Noto (Surabaya)
VIVA – Tidak banyak pemain asing yang berkarier sepakbola di Indonesia bisa sukses dan menjadi legenda.
Salah satunya adalah Jacksen F Tiago, sosok pria asal Brasil ini sangat terkenal di kalangan publik sepakbola Indonesia.
Jacksen sendiri belajar sepakbola dari akademi Flamengo. Ia menjadi anggota tim junior Flamengo tahun 1975-1983. Kemudian klub pertamanya profesional adalah Bonsucesso.
Jacksen memulai karier pertamanya di sepakbola Indonesia pada 1994 atau saat ia berusia 26 tahun.
Petrokimia Putra menjadi klub pertama di Indonesia yang di singgahi oleh Jacksen.
Alasan Jacksen berkarier di Indonesia adalah karena faktor ekonomi. Jacksen yang berasal dari Favela, pemukiman kumuh di Brasil ingin meningkatkan kesehjateraan keluarga.
Apalagi saat bermain di Indonesia, ia mendapatkan bayaran Dollar Amerika Serikat.
Awal mulanya Indonesia bukan menjadi tujuan utama bagi Jacksen. Saat ia mendapatkan tawaran bermain di luar negeri, agen Jacksen menyebutkan ia akan bermain di Malaysia.
"Kebetulan saya awalnya dijanjikan untuk bermain di Malaysia oleh agen dari Rumania. Sampai di Singapore baru diberitahu bahwa kami akan bermain di Indonesia," kata Jacksen saat dihubungi VIVA, Senin, 22 Juni 2020.
Ketika itu memang ada beberapa pemain Brasil yang dijanjikan bermain di Malaysia. Jacksen kemudian memperkuat Petrokimia, bersama dengan Carlos de Mello.
Jacksen sempat merasa ingin pulang ke Brasil, setelah diberitahu oleh sang agen bahwa akan merumput di Indonesia. Namun, Jacksen menundanya karena tiket pesawat baru bisa didapat setelah Januari 1995.
"Karena sudah tanggal 24 Desember 1994 (natal), saya memilih tinggal sampai awal Januari. Karena tiket pulang baru bisa tanggal 7 Januari 1995," tambahnya.
"Saya kemudian di bawa ke Gresik bersama Carlos de Mello. Sampai di Gresik kami mendapat perlakuan yang sangat luar biasa baik, oleh Direksi Petrokimia dan Alm Coach Andi Teguh. Sehingga kami memutuskan untuk melanjutkan petualangan kami di Indonesia," jelasnya.
Jacksen merasakan kesulitan untuk beradaptasi di Indonesia. Namun karena bantuan dari Petrokimia, sehingga membuat proses adaptasi tersebut lebih mudah.
"Kami diberikan kebebasan makan di hotel. Kemudian mendapat jatah guru bahasa dan setiap Rabu, kami di ajak makan ke Surabaya," tuturnya.
Jacksen hanya membutuhkan waktu empat bulan bisa berbahasa Indonesia. Dan makanan Indonesia pertama yang disantap oleh Jacksen adalah nasi goreng.
Tahun pertama bermain di Indonesia, Jacksen langsung membawa Petrokimia Putra jadi runner up. Tahun 1995, Jacksen hijrah ke PSM Makassar.
Hanya semusim menjadi pemain di PSM, Jacksen kembali merantau ke klub lainnya. Kali ini, Persebaya menjadi pelabuhan Jacksen.
Bersama tim kebanggan warga Surabaya ini, Jacksen meraih kesuksesan. Ia berhasil membawa Persebaya menjadi juara Liga Indonesia 1996/1997.
Tidak hanya itu saja, Jacksen sekaligus menjadi pencetak gol terbanyak. Ketika itu ia berhasil mencetak 26 gol.
Meski sempat merasakan kekecewaan, Jacksen ternyata memiliki keyakinan bisa sukses di Indonesia. Keyakinan tersebutlah yang membuat ia akhirnya tetap bertahan dan melanjutkan karier di Indonesia.
"Pasti. Itu alasan saya memutuskan tinggal. Semua keputusan selama ini berdasarkan keyakinan yang tinggi," ungkapnya.
Meski awal bermain di Indonesia bukanlah tujuan utama, namun Jacksen tidak pernah merasa menyesal.
"Tidak sama sekali," tuturnya.
Tahun 1998 Indonesia mengalami krisis ekonomi. Jacksen kemudian memutuskan untuk hijrah je Guangzhou Matsunichi, klub dari China.
Hanya setahun bermain di China, Jacksen kemudian benar-benar bermain di Malaysia. Ia memperkuat Geylang United pada 1999.
Tidak lama bermain di Geylang, Jacksen kembali berkarier di Indonesia. Dan persebaya menjadi tujuannya.
Jacksen kemudian kembali berkarier di luar Indonesia tahun 2001, bersama Home United. Di tahun yang sama, Jacksen pulang ke Indonesia dan bermain untuk Petrokimia.
Jacksen memutuskan untuk pensiun dari sepakbola pada 2002. Petrokimia menjadi klub pertama dan tempat ia mengakhiri karier sepakbola di Indonesia.