Gerbong Tua dan Kerasnya Pendirian Pelatih Italia

Para pemain Italia usai kekalahan dari Swedia
Sumber :
  • REUTERS/Kai Pfaffenbach

VIVA – Kejutan, tapi bukanlah hasil yang tak bisa ditebak. Ini adalah gambaran saat Italia dipastikan gagal lolos ke Piala Dunia 2018, Rusia.

Media Korsel Sorot Timnas Indonesia: Senjata Paling Berbahaya Mereka Adalah STY

Memang sejak awal, banyak pihak yang menyangsikan Italia akan lolos ke Piala Dunia 2018. Sebenarnya, tak ramai juga jika Italia absen.

Secara tradisi Italia adalah salah satu tim yang begitu kuat. Bahkan, dari setiap tahun penyelenggaraan, mereka selalu memberi kejutan.

Momen STY Dilempar Telur Kembali Viral Jelang Indonesia vs Korsel, Warganet: Buktikan Coach

Tapi, Italia mengalami 'kesialan' saat melakoni fase kualifikasi. Kenapa disebut sial? Sebab, mereka harus tergabung bersama Spanyol dalam satu grup.

Benar saja. Italia kesulitan bersaing dengan Spanyol. Alhasil, mereka finis di posisi kedua klasemen akhir Grup G kualifikasi Piala Dunia 2018.

Akhir Kisah Raphael Varane dengan Timnas Prancis, Mimpi Jadi Kenyataan

Pertanyaannya adalah mengapa Italia kesulitan bersaing dengan tim macam Spanyol sepanjang kualifikasi Piala Dunia 2018. Padahal, di Piala Eropa 2016 lalu, Italia sempat membuat Spanyol kewalahan dan menang dengan skor 2-0.

Ada dua masalah besar yang harus diatasi Italia dalam waktu dekat. Pertama adalah regenerasi pemain dan selanjutnya pelatih.

Selama kualifikasi Piala Dunia 2018, Italia masih mengandalkan gerbong tua. Lebih dari empat pemain yang sudah berusia di atas 33 tahun masih masuk ke dalam skuat Italia.

Gianluigi Buffon, Andrea Barzagli, Giorgio Chiellini, dan Daniele De Rossi, adalah deretan gerbong tua yang masih dipakai di skuat Italia bahkan mereka masih jadi pemain utama.

Memang, perlu pemain yang berpengalaman di dalam sebuah skuat. Tapi, itu tak cukup saat para rival mulai mempercayakan pemain muda mengisi skuatnya.

Tenaga mereka jelas berkurang. Tentunya, para pemain tua ini akan kesulitan menghadapi eksplosivitas skuat yang usianya jauh lebih muda.

Masalah kedua adalah pelatih. Ventura merupakan pelatih berstatus medioker yang tak memiliki rekor untuk meraih gelar.

Penunjukkan Ventura pun diwarnai kontroversi. Banyak yang bingung, mengapa FIGC tak memilih Carlo Ancelotti atau Fabio Capello sebagai pelatih Italia. Keduanya sudah terbukti bisa memberikan warna lain di setiap tim yang diasuhnya.

Kondisi diperparah dengan sikap Ventura yang keras kepala. Itu terbukti saat Ventura memilih tak memanggil gelandang kreatif Napoli, Jorginho, sepanjang fase kualifikasi.

Fans terus mendesak Ventura memanggil Jorginho karena penampilannya yang semakin apik. Tapi, Ventura tak peduli.

Baru saat playoff melawan Swedia, Ventura memanggil Jorginho. Tapi, Jorginho tak dimainkan sejak leg 1. Justru, dia lebih memilih memainkan Rossi sebagai starter dalam kesempatan itu. Hasilnya, bisa Anda lihat. Italia kalah dalam leg 1 dengan skor 0-1.

Pada leg 2, Ventura memainkan Jorginho. Permainan jadi lebih hidup. Sayangnya, Italia gagal mengonversikan peluang demi peluang untuk dijadikan gol. Mereka tersingkir dengan agregat 0-1.

"Semua yang bisa saya lakukan cuma minta maaf. Tapi, itu tak berpengaruh pada profesionalisme, kerja keras, atau semangat yang kami tanam dalam pertandingan ini," kata Ventura dilansir Football Italia.

Permintaan maaf Ventura belum dirasa cukup. Publik meminta adanya reformasi dalam tubuh FIGC. Bek Sassuolo, Paolo Cannavaro, menuntut adanya perubahan dalam tubuh FIGC.

"Italia sudah memberikan mereka kejayaan dan ketenaran, terima kasih untuk pelatih Timnas Italia, yang masih menjadi terbaik di dunia. Saya cuma berharap kami bisa menghantam karang yang berarti adanya reformasi di sepakbola kami," ujar bek Sassuolo, Paolo Cannavaro, dilansir Football Italia.

"Mari dukung para pemain muda Italia untuk muncul!!!! Kembalikan Italia ke level dunia. Sialnya, perlu kejadian ini untuk membangunkan Italia," lanjutnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya