Uni Z Lubis

Ancaman RPM Konten Bagi Kemerdekaan Pers

KETIKA artikel ini ditulis, sedikitnya 3.000 orang mendukung penolakan atas Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia (disingkat RPM Konten) di akun S.O.S Internet di jejaring sosial Facebook.  Sebanyak 1.000 menyalurkan dukungannya lewat akun Tolak RPM Konten. Di Twitter, penolakan mulai ramai Jumat malam (12 Februari). Yang menjadi sasaran tembak adalah Menkominfo Tifatul Sembiring yang dari status twitter-nya tengah berada di Swedia. 

Menkominfo Tifatul yang rajin menggunakan media internet, khususnya Twitter, dipandang bakal melanjutkan gaya otoritarian Menteri Penerangan Harmoko di era Presiden Soeharto yang mengontrol isi informasi di media.

Ada sejumlah konten yang dilarang dalam RPM ini, begitu juga kewajiban mengikat bagi penyelenggara jasa multimedia untuk mengontrol kontennya. Padahal pakar IT DR. Onno. S. Purbo mengatakan, secara teknis hal ini sulit dilakukan, mengingat di dunia multimedia, konten berarti aliran ribuan bahkan jutaan informasi yang sulit dimoderasi.

Kapolri Bidik Aset Bandar Judi Online Diserahkan ke Negara

Sejauh ini belum ada tanggapan serius dari Menteri Tifatul.  Dalam wawancara dengan reporter TOPIK antv, Kepala Hubungan Masyarakat Depkominfo Gatot S. Dewabroto mengatakan pemerintah mengontrol konten internet, dan RPM Konten tidak dimaksudkan mengatur tayangan televisi maupun media massa lainnya. Benarkah demikian?

Mari kita telaah sebagian dari konten dari RPM Konten yang terdiri dari 32 pasal ini. Pada bagian konsideran, RPM ini memajang enam Undang-undang, dua Peraturan Pemerintah dan dua Keputusan Menteri.  UU No 40/1999 Tentang Pers dan UU No 32/2002 Tentang Penyiaran termasuk dalam konsideran.

RPM ini mendefinisikan “Konten” sebagai substansi atau muatan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang mencakup seluruh suara, tulisan, gambar baik diam maupun bergerak atau bentuk audio visual lainnya, sajian-sajian dalam bentuk program, atau gabungan sebagiannya dan/atau keseluruhannya.

Sementara “Multimedia” adalah Sistem Elektronik yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsi Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi.   RPM mendefinisikan “Konten Multimedia” sebagai Konten yang dimuat, didistribusikan, ditransmisikan, dibuat dapat diakses dan/atau disimpan melalui atau dalam Perangkat Multimedia.

Dari konsideran, maupun definisi, jelas bahwa produk media cetak dan media penyiaran akan terkena pengaturan dalam RPM ini.  Sebagian dari surat kabar dan majalah saat ini sudah memiliki versi online, atau e-paper, begitu juga media online yang sudah memasukkan konten visual, bahkan bekerjasama dengan televisi sebagai pemasok konten (seperti yang dilakukan Grup VIVA, melalui kerjasama antara www.vivanews.com dengan tvONE dan antv). 

Pembuat naskah RPM Konten ini menafikan hadirnya Konvergensi Media yang baru saja dibahas dan diamini oleh Menteri Tifatul Sembiring pada Konvensi Media Nasional yang diselenggarakan dalam rangka Hari Pers Nasional di Palembang, tanggal 8 Februari lalu. Dalam diskusi itu pembicara dari radio bahkan mengungkapkan betapa dengan alat sederhana dan klik internet, kita bisa menikmati 5.000-an siaran radio di Amerika Serikat!

Apakah Depkominfo berhak meregulasi (baca: menyensor) konten media cetak dan media penyiaran, sebagaimana nuansa dari RPM ini?  Jawabnya jelas: TIDAK.  UU Pers menjamin kemerdekaan pers sebagai hak dasar dari masyarakat.  Pasal 4 ayat (2) dari UU Pers menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak boleh ada sensorsip, pembredelan maupun larangan penyiaran. Penjelasannya pun jelas,  dengan tambahan bahwa bagi transmisi informasi di luar produk jurnalistik akan diatur dengan peraturan tersendiri. 

Produk jurnalistik yang dipublikasi baik melalui media cetak maupun media elektronik tunduk kepada UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik Indonesia, dimana menurut Pasal 15 UU Pers, tugas ini dijalankan oleh Dewan Pers yang independen. Dari sisi penyiaran, UU Penyiaran memberikan kewenangan pengaturan Isi Siaran kepada Komisi Penyiaran Indonesia, sebuah komisi independen yang menurut Pasal 8 UU Penyiaran berhak menetapkan standar program siaran, menyusun peraturan  dan menerapkan pedoman perilaku penyiaran, mengawasi pelaksanaan peraturan yang dibuatnya serta memberikan sanksi atas pelanggaran standar program siaran dan pedoman perilaku penyiaran. 

Jelas UU Pers maupun UU Penyiaran tak memberikan kewenangan secuilpun bagi Pemerintah c.q Depkominfo mengatur konten media, baik itu media cetak maupun media elektronika, dan pada gilirannya media internet manakala konten cetak dan elektronika itu disajikan di sana sebagai bagian dari pelaksanaan konvergensi. Khusus mengenai produk jurnalistik bahkan sudah ada kesepakatan antara KPI dan Dewan Pers, bahwa Dewan Pers lah yang berwenang mengawasi konten media, serta memberikan sanksi bagi pelanggaran UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik.

RPM ini menyerahkan wewenang menentukan Konten itu dilarang atau tidak kepada sebuah Tim Konten Multimedia beranggotakan 30 orang, separuh diantaranya dari unsur pemerintah dan separuh dari unsur masyarakat yang berkualifikasi ahli atau profesional, dan dipimpin oleh Direktur Jendral terkait di Depkominfo.  Nuansa “jadul” alias jaman dulu kental di sini.

RPM ini sarat larangan, dan memberikan beban berat bagi “Penyelenggara” jasa layanan multimedia, dalam hal ini termasuk penyelenggara jasa Telekomunikasi yang menawarkan layanan berbasis Teknologi Informasi meliputi jasa akses internet dan penyelenggara jasa multimedia lainnya.

Pasal 7 dari RPM Konten misalnya mengatur hal yang bertentangan dengan hak dasar rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Padahal Pasal 7 RPM Konten melarang Penyelenggara mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang mengandung: “muatan privasi, antara lain Konten mengenai isi akta  otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang, riwayat dan kondisi anggota keluarga;  riwayat dan kondisi anggota keluarga;  riwayat, kondisi dan perawatan, pengobatan, kesehatan fisik dan psikis seseorang, kondisi keuangan, aset, pendapatan, dan rekening bank seseorang, hasil-hasil evaluasi sehubungan dengan kapabilitas,  intelektualitas dan rekomendasi seseorang yang berkaitan dengan kegiatan satuan pendidikan formal dan satuan pendidikan non formal”. 

Bagaimana dengan pemberitaan media termasuk media internet soal riwayat kesehatan dan pengobatan mantan Presiden Soeharto dan mantan Presiden Gus Dur?  Melangggar?  Apakah media tak boleh memuat kekayaan pejabat publik?  Padahal UU Pemberantasan Korupsi yang menjadi dasar bekerjanya Komisi Pemberantasan Korupsi mewajibkan pejabat publik melaporkan kekayaannya kepada publik? Bukankah rakyat berhak tahu kapabilitas dan intelektualitas calon pemimpinnya?  Dan apa salahnya jika seseorang ingin mengumumkan lewat multimedia mengenai kemauan terakhir ataupun wasiatnya? 

Selain menafikan UUD dan UU, yang notabene secara tata urutan perundangan berada di atas Peraturan Menteri, RPM ini jelas mengintervensi terlalu jauh aspek kehidupan personal warga, termasuk pengambilan keputusan personal.  Pasal 5, misalnya, melarang Penyelenggara mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang  mengandung muatan mengenai tindakan yang merendahkan keadaan dan kemampuan fisik, intelektual, pelayanan, kecakapan, dan aspek fisik maupun non fisik lain dari suatu pihak. Pendek kata, Pasal 3 sampai Pasal 7 yang isinya mengenai Konten yang dilarang, sebenarnya tumpang-tindih dengan regulasi yang sudah diatur oleh UU lain, baik itu KUHP, UU Anti Pornografi maupun UU lainnya.

Sanksi bagi Penyelenggara yang mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Konten yang dilarang diatas adalah sebagai mana diatur dalam Pasal 30 RPM Konten, yakni Saksi Administratif berupa teguran tertulis, denda administratif, pembatasan kegiatan usaha dan /atau pencabutan ijin sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.  Dan lebih parah lagi, pengenaan sanksi di atas tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana, sesuatu hal yang ditolak keras oleh kalangan pers.

Tersiar kabar bahwa naskah RPM ini dibuat tahun 2006, ketika Menteri Tifatul belum menjabat Menkominfo, dan jabatan itu dipegang Prof. Muhammad Nuh.  Fakta ini, kalaupun benar, tidak menghilangkan kritik atas kepemimpinan dan visi dari Menteri Tifatul yang menggunakan naskah “jadul” dan tidak visioner sebagai bahan uji publik. 

Dengan asumsi bahwa pembuat RPM ini adalah birokrasi Depkominfo, dan orang-orang yang sama saat ini, jelas pola pikir birokrasi Depkominfo belum banyak beranjak dari paradigma jaman otoritarian Orde Baru yang cenderung tak rela dengan kemerdekaan pers.

Mengulik Jam Tangan Abdul Qohar yang Jadi Sorotan, Harganya Lebih Mahal dari Fortuner GR Sport!

Padahal kemerdekaan pers itu sendiri sudah dibatasi pula oleh UUD Pasal 28J ayat (1) berbunyi: "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara", serta ayat (2): "Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Hasrat mengatur konten multimedia, meregulasi konten internet, bukan hanya terjadi di Indonesia.  Di banyak negara, terutama negara komunis atau negara yang dikelola secara tidak demokratis keinginan itu muncul terutama dari kalangan konservatif yang terganggu oleh informasi yang bergentayangan di internet. 

Padahal maraknya internet tak lepas dari kian meningkatnya hasrat warga masyarakat menyampaikan aspirasinya.  Mayoritas isi dari internet atau multimedia adalah aspirasi warga, dan merefleksikan kondisi riel di masyarakat. 

Kalau ada yang salah dari posting mereka, misalnya buruknya pelayanan publik sebagaimana kasus yang menimpa Prita Mulyasari, maka yang perlu diperbaiki adalah pelayanan publiknya. Bukan menyensor apalagi melarang informasi itu disampaikan via medium multimedia.

*Uni Z Lubis, wartawan dan Anggota Dewan Pers 2010-2013.

Kejagung Sebut Ayah Ronald Tannur Tahu Istrinya Menyuap Hakim
Anggota Komisi X DPR RI, Anita Jacoba Gah

DPR Harap Kevin Diks Jadi Pemain Terakhir yang Dinaturalisasi PSSI: Kita Banyak Atlet Lokal

Anggota Komisi X DPR RI, Anita Jacoba Gah berharap bek FC Copenhagen, Kevin Diks menjadi pemain keturunan terakhir yang dinaturalisasi untuk membela Timnas Indonesia.

img_title
VIVA.co.id
5 November 2024