Dilema Beras Bulog

Ilustrasi beras Bulog
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

VIVA – Keputusan pemerintah untuk mengubah program beras sejahtera atau Rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) pada Mei lalu, bikin Badan urusan Logistik atau Bulog pusing. Pasalnya, penyerapan beras Bulog tidak bisa dipungkiri jadi tidak maksimal. 

Bulog Ungkap 5 Tantangan Produksi Beras yang Berdampak Pada Krisis Pangan

Bahkan, belakangan ini heboh di masyarakat bahwa Bulog akan 'membuang' sebanyak 20 ribu ton beras karena mutunya telah turun. Beras tersebut merupakan cadangan beras pemerintah yang harusnya diserap oleh Kementerian Sosial untuk program bantuan sosial pemerintah.

Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Bulog, Tri Wahyudi Saleh ketika berbincang dengan VIVAnews mengungkapkan, gejala tertimbunya beras sudah terlihat sejak 2017 lalu. Kala itu program BPNT mulai diujicoba untuk mengantikan program Rastra. 

IIRC 2024, Bulog Ungkap Strategi Atasi Tantangan Produksi Beras

"Pengalihan dari Rastra ke BPNT itu pengaruh juga," ujar Tri dikutip Selasa 10 Desember 2019

Dia menceritakan, beras penugasan program pemerintah yang tadinya bisa mencapai 2,3 juta ton kini hanya 300 ribu ton. Padahal, Bulog terus melakukan penyerapan beras petani untuk program pemerintah.

Kebutuhan Beras SPHP se-Kalbar Hampir 200 Ton per Hari

Dari uji coba pada pertengahan 2017 hingga diberlakukan pada Mei 2019 penyerapan BPNT pun belum maksimal hingga kini. Sementara itu kebutuhan untuk program Rasta terus menurun.

"Beras itu kan barang mudah rusak. Coba taruh beras di rumah sebulan rusak tidak? Rusaklah," ungkapnya. 

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso pun menjelaskan hal senada. Menurunnya, mutu atau rusaknya 20 ribu ton beras karena itu dipersiapkan untuk program BPNT yang sejatinya mulai digenjot sejak 2017. 

Dia mengatakan, Bulog telah meyiapkan beras-beras itu dan dikirim ke sekitar 45 kota yang dicakup oleh program BPNT. Beras tersebut telah ditempatkan dalam kemasan lima kilogram untuk disalurkan melalui program BPNT. 

"Ternyata enggak jadi dipakai (BPNT) kalau kita tarik kembali cost-nya tinggi. Akhirnya kita diamkan di sana untuk kepentingan lain. Itu yang akibatkan kerusakan beras," ujarnya awal bulan ini. 

Menurutnya, dengan tidak berjalannya program pemerintah tersebut, Bulog jelas dirugikan. Karena beras yang dibeli melalui pinjaman bank tersebut tidak bisa didistribusikan ke masyarakat. 

"Ini masalahnya tadi beras kita tidak bisa distribusikan enggak kepakai kemudian tidak dibeli atau dibayar mensos. Sedangkan, kita belinya dengan pinjam. Ini jadi masalah semakin lama kita simpan itu bukan semakin baik karena bunga ditambah bunga terus," tegasnya. 

'Dibuang' sayang

Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menolak keras rencana Bulog 'membuang' atau memusnahkan 20 ribu ton beras yang mutunya menurun tersebut. Sebab, sejatinya beras-beras tersebut masih bisa dikonsumsi. 

Ketua Umum APPSI, Ferry Juliantono mengatakan, beras tersebut masih sangat dibutuhkan masyarakat. Khususnya kalangan masyarakat pra sejahtera. 

"Apalagi proses pemusnahan 20 ribu ton beras juga perlu anggaran negara yang besar," ungkapnya. 

Dia menegaskan, masalah ini harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah khususnya Bulog dalam mengelola cadangan beras pemerintah (CBP). Sistem penyimpanannya pun harus diperhatikan, agar masalah itu tak terulang lagi. 

Menurutnya, penyimpanan beras ke depannya bisa tidak melulu dalam bentuk beras butir. Tapi, dapat berupa gabah yang memiliki waktu penyimpanan yang lebih lama. 

"Bulog seharusnya bisa alert (waspada) manakala stok beras di gudang ada yang sampai setahun, Bulog sebaiknya sekarang menyimpan gabah kering giling di gudang yang lebih tahan lama," jelas Ferry.

Menanggapi hal tersebut, Buwas sapaan akrab Budi Waseso, membantah, pihaknya akan 'membuang' seluruh beras yang telah turun mutu atau turun kualitasnya sebanyak 20 ribu ton. 

Namun, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor 38 Tahun 2018, kata dia, beras yang telah dinilai turun mutu oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan atau BPOM dan ditetapkan oleh Menteri Pertanian (mentan) sebagai beras disposal, bisa dijual dengan harga di bawah Harga Eceran Tertinggi atau HET, bukan di buang.

"Tentunya ini melalui proses pemeriksaan laboratorium dan Badan POM, rekomendasinya dari mentan. Nah tidak berarti secara keseluruhan langsung dibuang tidak," tegas Buwas. 

Dia menjelaskan, beras tersebut bisa dijual untuk diolah menjadi produk lain, seperti sebagai tepung terigu, pakan ayam ternak, hingga sebagai ethanol jika memang ditetapkan tidak bisa dikonsumsi sama sekali oleh manusia maupun hewan. 

"Tentunya akan dilelang, mekanismenya akan dilelang. Terserah yang beli mau dijadikan apa. Yang mau dijadikan tepung harus dilelang, kita pastikan ada perjanjiannya, harus jadi tepung, mau pakan ternak harus itu, yang untuk jadi ethanol ya dilelang juga," tegas dia.

Karena itu cadangan beras pemerintah (CBP) yang telah dinyatakan disposal, maka tentu pemerintah harus ganti rugi dari adanya penurunan harga jual tersebut.

"Itu tergantung hasil lelangnya (nominal penggantian). Uangnya diterima Bulog, kita laporkan ke negara 20 ribu ton itu lakunya sekian, pengembaliannya dulu sekian, maka selisih harganya kita mintakan pengantiannya ke negara. Jadi enggak ada disposal itu dibuang," ungkapnya. 

Strategi bayar utang

Guna menutupi beban utang yang diderita Bulog akibat tidak terserapnya cadangan beras pemerintah tersebut, tahun depan kapasitas penjualan beras secara komersial akan diperbesar. Diketahui, beban bunga utang ke perbankan yang harus dibayar Bulog hasil dari pembelian beras penugasan pemerintah adalah Rp28 triliun.

Buwas mengungkapkan, nantinya komposisi beras penugasan pemerintah dan beras yang dijual komersil dipatok 50-50 persen. Saat ini CBP yang disalurkan untuk program pemerintah adalah 80 persen.  

"Nanti ke depan kita harus paling tidak 50 persen untuk komersial. Sehingga kita bisa menutupi bunga utang dan kita bisa menyicil bayar utang," ujarnya. 

Dia mengungkapkan, Perum Bulog pun telah mempersiapkan mekanisme penjualan ke arah komersial. Salah satunya dengan membangun kerja sama dengan berbagai toko ritel, grab kios, termasuk e-Commerce pangananadotcom. 

Jika rencana ini berjalan, dia optimistis, Bulog tidak lagi akan terus mengalami kerugian seperti saat ini. Bahkan, justru menjadi BUMN yang untung, karena harga yang ditawarkan lebih murah.

"Beras kita paling murah dan produk kita menduduki peringkat pertama, jadi kita pasti bisa (untung)," ungkap dia.

Namun, Buwas berharap pemerintah segera menetapkan kebijakan supaya serapan CBP ke depannya tidak lagi bergantung kuota melainkan kemampuan anggaran pemerintah. Sehingga, Bulog bisa lebih fleksibel mengkomersialkan beras.

"Nah kita akan menggunakan beras itu dengan jualan komersial ke depan sehingga tidak lagi 50-50. Kalau sudah ada keputusan, mungkin hanya 20 persen CBP, selebihnya adalah komersial," tuturnya.

Dia mengungkapkan, saat ini gudang Bulog memiliki kemampuan menyerap tiga juta ton beras petani. Sedangkan, pemerintah hanya siap memberikan ganti rugi dari program penugasan sebanyak 250 ribu ton atau senilai Rp2,5 triliun. 

"Yang membebani CBP tadi, yang komersial enggak. Ketika itu tadi yang setara 250 ribu ton beras ya kita sediakan itu 2,75 juta ton nya untuk komersial. Kalau pemerintah butuh 500 ribu ton kita kasih beras kualitas mana, ya sisanya diganti pemerintah. Kan selesai." [mus] 
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya