Festival Bunga Tomohon 2017 Tuai Pro dan Kontra Petani Lokal
- VIVA.co.id/Agustinus Hari
VIVA.co.id - Festival Internasional Bunga Tomohon diklaim bisa menguntungkan para petani bunga lokal. Soalnya ajang yang digelar sejak tahun 2006 dan diikuti perwakilan sejumlah negara itu membutuhkan ratusan ribu kuntum bunga. Begitu juga dalam festival serupa yang dihelat selama 8-12 Agustus 2017.
Namun klaim itu tak sepenuhnya benar. Fredy Liuw, seorang petani bunga di Tomohon, menyangkal klaim itu. Fredy, yang meneruskan usaha keluarganya turun-temurun sejak puluhan tahun silam, terang-terangan mengatakan tak memperoleh untung dari festival itu.
“TIFF (Tomohon International Flower Festival) untuk masyarakat petani bunga tidak ada keuntungan," kata Fredy saat ditemui di rumahnya di Kelurahan Kakaskasen III, Kecamatan Tomohon Utara, pada Selasa, 8 Agustus 2017.
FOTO: Kendaraan hias peserta dari luar negeri dalam Festival Internasional Bunga Tomohon tahun 2017. (VIVA.co.id/Agustinus Hari)
Dia memperkirakan, bukan petani bunga lah yang menikmati untung dari kegiatan itu, melainkan pelaku usaha sektor lain, misalnya kuliner atau makanan. "Tapi dari petani, hanya petani tertentu yang dekat dengan pemerintah saja. Bagi petani umumnya, tidak ada guna, mereka tidak mendukung.”
Petani tertentu yang disebut Fredy itu juga mendapatkan keistimewaan dari pemerintah, misalnya bibit bunga. Petani bunga tradisional yang berjumlah sekitar 50 orang dan sudah puluhan tahun menggantungkan hidup dari usaha itu tidak terdampak manfaat TIFF.
“Hanya orang dekat dengan pemerintah yang menerima bantuan. Petani berdasi yang dapat keuntungan saat TIFF. Kalau petani-petani lain menanam kemudian tidak dibeli, lebih baik tanam di saat Natal saja,” katanya.
Fredy mengaku tak terpengaruh perhelatan TIFF yang digadang-gadang menyaingi festival serupa di Pasadena, Amerika Serikat. Dia tetap menjalankan usahanya menanam bunga dan sayuran sesuai perhitungan waktu panen dan kebutuhan pasar.
Hal yang dijalani Alex Mongdong sedikit berbeda dengan Freddy. Alex adalah petani bunga lainnya yang merawat dua rumah kasa atau screen house di kawasan Jalan Lingkar Timur, Kota Tomohon. Rumah kasa itu bukan miliknya, melainkan punya seorang pegawai negeri sipil.
Meski tak punya perhitungan yang detil karena hanya pekerja, Alex mengakui, keuntungan yang diperoleh saat TIFF bisa sekitar Rp18 juta. “Karena satu tangkai atau kuntum itu dijual dengan harga tiga ribu lima ratus rupiah. Sementara satu screen house ini bisa menghasilkan enam sampai tujuh ribu kuntum,” ujarnya.
Youla Tooy, seorang petani bunga lain, mengaku tak mau menerima bantuan pemerintah. Dia juga tidak mau masuk dalam kelompok tani. “Saya tidak mau terima bantuan pemerintah,” katanya.
Pemerintah, menurutnya, membentuk kelompok-kelompok tani. Satu kelompok mendapatkan Rp10 juta untuk dibagi kepada sepuluh orang. “Jadi masing-masing dapat satu juta. Harusnya setelah jadi bibit, baru dibagi, bukan dalam bentuk uang,” Youla mengkritik.
Dana Rp1,9 Miliar
Lain lagi cerita Netty Karundeng, pemilik Kios Tirza di Kelurahan Kakaskasen II, Kecamatan Tomohon Utara. Saat ditemui pada Jumat pekan lalu, Netty mengungkapkan dalam setiap gelaran TIFF, dia dan suaminya ikut mendekorasi float. Dekorator memberinya uang Rp1,5 juta per hari.
“Satu float bisa dikerjakan hingga tiga hari saja. Kalau orang lain mungkin seminggu. Tapi saya dan suami hanya tiga hari saja mengerjakan satu float. Tahun lalu kami mendekor float milik Pemkot Bitung, tapi tahun ini belum ada orderan,” ujar Netty.
Dia termasuk orang yang menikmati dampak festival itu meski keuntungan penjualan bungai lebih besar saat moment perayaan Natal atau Tahun Baru. "Namun tanpa TIFF pun kami bisa hidup dari bunga,” kata wanita empat anak itu.
Pemerintah Kota Tomohon mengucurkan dana Rp1,9 miliar untuk penyelenggaraan TIFF tahun 2017. Uang sebanyak itu untuk pengadaan bunga, pembuatan kendaraan hias, hingga kebutuhan lain.
Khusus pembuatan kendaraan hias dianggarkan dana Rp50 juta sampai Rp70 juta per kendaraan. Itu sudah termasuk sewa kendaraan, dekorasi, dan pengadaan bunga. Pihak ketiga atau dekorator yang biasa berurusan dengan Pemerintah Kota terkait hal itu.
Pemerintah Kota menepis isu bahwa hanya petani-petani tertentu yang menikmati pesta bunga di kawasan kaki Gunung Lokon itu. “Kalau dikatakan petani-petani ini ada kedekatan-kedekatan dengan orang pemerintah, itu tidak ada,” ujar Kepala Dinas Pertanian Kota Tomohon, Vonny Pontoh.
Kelompok-kelompok tani itu, Vonny mengklaim, sudah lama bermitra dengan pemerintah untuk mengembangkan krisan. “Karena kalau dia baru, tidak akan mampu menanam bunga, khususnya krisan,” katanya.
Dia mengakui ada bantuan dari pemerintah untuk kelompok tani, dalam bentuk bibit, pupuk, zat perangsang tumbuh, serta tenaga teknis pendampingan. Seratus ribu bibit krisan dibagikan kepada 34 kelompok tani. Tiap-tiap kelompok rata-rata mendapatkan tiga ribu sampai empat ribu bibit. Jika dinilai dengan uang setara Rp2,1 juta.
Bantuan Tak Merata
Bantuan ke kelompok ternyata juga tidak secara merata diterima tiap anggota. Apalagi untuk penanaman bunga krisan, hanya khusus bagi yang punya screen house. “Khusus krisan lulu dan pulo itu bisa ditanam tanpa screen house."
Mengenai keuntungan yang bisa didapat kelompok tani, Vonny menjelaskan, petani bisa menghasilkan lima ribu kuntum dan nilai jualnya Rp3.000 berarti mendapat hasil Rp15 juta. Para petani sudah mengetahui keuntungannya. Jika ada yang menanam dua puluh ribu bibit, keuntungannya kira-kira Rp60 juta/
Pemerintah Kota sudah menghitung dari sisi analisis usaha tani berapa keuntungan yang didapat petani. “Keuntungan banyak, sehingga untuk harga petani tidak akan meminta lebih dari itu. Tiga ribu lima ratus rupiah, mereka sudah untung cukup banyak,” kata Vonny.
Berdasarkan data di Dinas Pertanian Kota Tomohon, terdapat 50 kelompok petani bunga, tiap kelompoknya sebanyak 15 orang. Total ada 750 orang. Sedangkan luas lahan 300 hektare per tahun. (ren)