Lestarikan Orisinalitas Makna Kain Batik
VIVA.co.id – Kain batik salah satu kebanggaan Indonesia yang mencerminkan khasanah budaya leluhur. Sebagaimana diketahui, batik Indonesia secara resmi diakui oleh UNESCO sebagai Budaya Tak Benda Warisan Manusia sejak tahun 2009. Dalam forum Kafe BCA VI bertajuk Khasanah Batik Pesona Budaya, Poppy Savitri Direktur Edukasi & Ekonomi Kreatif, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengajak untuk melestarikan makna kain batik sesungguhnya.
“Tentu, kita familiar dengan kain batik. Namun, banyak yang salah kaprah menyebutkan kain motif batik menjadi kain batik. Oleh karena itu, saya ingin mengingatkan kembali bahwa kain bisa disebut batik, jika perintang warnanya terbuat dari malam. Selain dari itu, kita menyebutnya kain motif batik,” ujarnya.
Bila kita melihat kain bermotif batik yang melalui proses printing ataupun sablon, alangkah bijaknya tidak disebut dengan kain batik, katanya.
Poppy menambahkan, bahwa kita harus benar-benar mendalami makna batik dan penggunaannya secara tepat. Agar kemurnian dan identitas kearifan lokal tersebut terus lestari. Mengingat, para pembatik mendedikasikan waktu dan pikiran untuk berkarya, bahkan ada yang berpuasa selama 40 hari. Dengan ketekunan, kesabaran, dan disiplin, mereka berjibaku selama 1-2 tahun menghadapi rutinitas dan kain yang sama. Mereka setara dengan para artisan di luar negeri, bukan pengrajin biasa. Di dalam sehelai kain batik tersimpan harmonisasi pikiran, jiwa, filosofi, dan doa, ujarnya.
Tahapan proses membatik juga beragam, sesuai kerumitan pola, bahan, dan teknik yang digunakan. Contohnya, motif batik pedalaman terinspirasi kepada alam pikiran Keraton yang kental unsur religius dan mistis. Sementara, batik pesisiran lebih dinamis dengan penggunaan corak cumi atau udang yang identik dengan kondisi setempat. Adapula batik Pekalongan yang terpengaruh motif China.
“Akulturasi budaya ini terjadi karena besarnya permintaan alas sembahyang saat itu. Namun lamanya waktu dan jauhnya jarak pengiriman dari China, membuat para penjajah saat itu berinovasi membuat alas tersebut di atas kain batik,” ujar Poppy.
Menurut Poppy, variasi motif batik yang sarat makna dan filosofis mendalam, kian sempurna bila penggunaannya sesuai tempat.
“Sebaiknya, kita mencari tahu makna motif di balik sehelai kain batik sebelum dikenakan atau dijahit. Karena ada jenis kain batik yang tidak bisa sembarang dipakai, seperti kain penutup jenazah atau acara kesedihan. Memakai kain batik sesuai makna dan tempatnya merupakan bagian dari ethical fashion. Gerakan tersebut juga kami giatkan di Bekraf bersama para desainer dan pengrajin wastra nusantara lainnya, tidak hanya Batik,” kata Poppy.
Selain itu kata Poppy, Bekraf juga berupaya menciptakan iklim yang kondusif guna mendorong kreativitas para pembatik. Contohnya, memberikan nilai tambah kepada batik melalui pengemasan yang berkualitas. Di dalam pembungkusnya dikisahkan filosofi corak, si pembatik, dan prosesnya.
Poppy menjelaskan, bahwa upaya untuk melestarikan kain batik adalah bagian dari merawat warisan budaya. Ketika dihadapkan dengan tingginya permintaan pasar akan kain bermotif batik, itu menjadi tantangan tersendiri. Oleh karena itu, proses panjang dari membatik dijadikan keunggulan melalui kisah yang disampaikan kepada pasar. Dan, membiasakan tidak menyebut kain bermotif batik dengan batik. Hal tersebut bukan hanya tugas yang diemban Bekraf, tetapi tanggung jawab bersama.
Selain Poppy, hadir pula Direktur Edukasi & Ekonomi Kreatif Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF) Poppy Savitri, Rektor Universitas Pekalongan Suryani, dan Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja.
“Sebagai salah satu perusahaan yang lahir dan besar di Indonesia, BCA melakukan berbagai cara untuk mendukung Pekalongan mempertahankan eksistensinya sebagai kota Batik. Untuk meningkatkan kualitas pengrajin Batik di Pekalongan, kami baru saja meresmikan Kampung Batik Gemah Sumilir, Wiradesa, Pekalongan sebagai salah satu Desa Wisata Binaan BCA. Kami juga bekerja sama dengan pengrajin Batik di Pekalongan untuk memproduksi Batik Hoko BCA sebagai seragam yang dikenakan oleh lebih dari 23.000 karyawan BCA dari Sabang sampai Merauke,” jelas Jahja.
Mengingat eksistensi batik tak bisa dilepaskan dari kota Pekalongan. Dalam forum Kafe BCA VI tersebut, BCA meluncurkan buku ‘Batik Pekalongan: Dari Masa ke Masa’ yang ditulis secara apik oleh Budi Mulyawan. Buku ini diharapkan dapat meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap Batik dan menjadi inspirasi bagi kemajuan teknik membatik di Indonesia. (webtorial)