Enam Poin Aturan Smelter Akan Diajukan ke Kementerian ESDM
- Guardian
VIVA.co.id – Kementerian Perindustrian (Kemenperin) merumuskan enam rekomendasi mengenai pengembangan industri fasilitas pengolahan hasil tambang atau smelter untuk dibahas bersama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Kemenperin melalui Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) pada hari ini, Rabu, 19 Oktober 2016, mengadakan Forum Grup Discussion (FGD) dengan beberapa pengusaha tambang Indonesia dan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I).
Hasil diskusi yang ditutup pukul 15.00 WIB ini menghasilkan rekomendasi. Pertama, meminta Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) untuk memperjelas dan mempertegas perizinan izin usaha industri (IUI) dan Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Kedua, meminta kepada Kementerian ESDM untuk menyusun neraca cadangan mineral. Ketiga, Kementerian ESDM dan Kemenperin menyusun kriteria dan jumlah smelter baru di daerah tertentu.
“Kalau enggak gitu nanti semua ngajuin smelter. Nanti lingkungan kita rusak," ucap Direktur Jenderal ILMATE I Gusti Putu Surya Wirawan di Kementerian Perindustrian Jakarta.
Pihaknya memperhitungkan akan melonjaknya pengajuan pembangunan smelter, seiring dengan realisasi program pemerintah untuk penambahan nilai hasil tambang.
"Smelter ini jumlahnya akan banyak, ada kekhawatiran apakah nanti semuanya akan mendapatkan bahan baku. Sehingga, perlu ada pedoman. Material balance harus ada," katanya.
Keempat, meminta Kementerian ESDM untuk segera merevisi Peratutan Pemerintah (PP) No.9/2012 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk Kementerian ESDM.
"Terkait royalti. Royalti hanya untuk barang tambang. Proses berikutnya sudah proses industri, pajak ya dalam bentuk PPN (Pajak Penambahan Nilai). Ada pengusaha smelter yang royaltinya dipungut di hasil akhirnya," ungkapnya.
Kelima, revisi Peraturan Menteri (Permen) ESDM No.8/2015 tentang peningkatan nilai tambah mineral. "Revisi ini lebih kepada besar kandungan nikel yang diwajibkan sebelum bisa diekspor," ucapnya.
Pada Permen tersebut disebutkan kandungan nikel minimal empat persen untuk diperbolehkan mengekspor. Alhasil, tambang-tambang dengan kadar nikel di bawah standar ditinggalkan karena dirasa tidak dalat diolah. Maka, pihaknya akan ajukan revisi untuk kadar di bawah empat persen dapat diolah dan tetap memiliki nilai jual.
Keenam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diminta agar mengembangkan pusat unggulan mineral Indonesia.
Ia mengungkapkan pada saat ini fokusnya adalah untuk industri smelter nikel. Namun, ia juga akan mengajukan komoditas mineral lainnya.