Undang-undang Jasa Konstruksi Dikritik Peraturan Ompong
- VIVA.co.id/Nur Faishal
VIVA.co.id - Kritik penerapan Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) muncul dari Marthen Hengki Toelle, mahasiswa program doktor pada Universitas Airlangga Surabaya kelahiran Ba'a-Rote, Nusa Tenggara Timur. Ia menilai UU Tipikor kerap bertabrakan dengan UU lain. Akibatnya, UU selain UU Tipikor seperti tak bergigi alias peraturan ompong.
Marthen menuangkan kritiknya pada hasil penelitian yang dia tulis dalam desertasinya. Fokus penelitiannya ialah penerapan Pasal 2 UU Tipikor pada penanganan kasus korupsi terkait pengerjaan sebuah proyek bangunan.
"Misalnya, pengerjaan proyek sudah selesai, tapi satu-dua tahun kemudian diusut penegak hukum. Ditemukan spesifikasi tidak sesuai, lalu dianggap korupsi dengan menggunakan kacamata Undang-undang Tipikor," kata Marthen di Surabaya, Jawa Timur, pada Rabu, 20 Juli 2016.
Ia menilai, penerapan UU Tipikor pada kasus proyek bangunan bertabrakan dengan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. Dalam UU Jasa Konstruksi diatur bahwa ketika terjadi ketidaksesuaian antara proyek yang dikerjakan dengan kontrak kerja maka dianggap sebagai cedera janji atau wanprestasi.
Pada UU Jasa Konstruksi juga dijelaskan, kata Marthen, bahwa cedera janji dalam proyek fisik diselesaikan secara perdata. Karena perdata, jika dinyatakan bersalah, hukumannya ialah ganti kerugian. "Bukan dipidana," ujarnya.
Dia menilai, dalam kasus seperti itu, UU Tipikor seolah-olah mengenyahkan undang-undang lain. Padahal, menurutnya, dua undang-undang itu setara dalam hierarki hukum yang berlaku di negeri ini. "Lalu buat apa ada Undang-undang Jasa Konstruksi, dihapus saja," katanya.
Kendati begitu, dia menilai bahwa UU Tipikor tidak perlu direvisi. Dia hanya meminta penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak menindaklanjuti temuan dugaan penyimpangan proyek bangunan secara pidana. "Karena itu masuk ranah perdata," ujarnya.