3 Alasan RI Harus Terapkan 'Tax Amnesty'
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA.co.id – Menteri Keuangan, Bambang Brodjonegoro akhirnya membeberkan alasan utama pemerintah terus mendorong penerapan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty agar segera di bahas di parlemen, sehingga bisa disahkan menjadi undang-undang.
Bambang menjabarkan, pertama adalah mengenai penerimaan pajak yang masih belum optimal, dengan ditandai oleh tax ratio yang masih tergolong rendah. Tax ratio Indonesia saat ini berada di kisaran angka 12 persen, kalah jauh dengan negara tetangga seperti Thailand, Singapura, Filipina, bahkan Malaysia.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak, masih banyak Wajib Pajak (WP) yang belum melaporkan hartanya. Baik itu yang berada di luar negeri, maupun luar negeri. Artinya, mereka belum dikenai pajak di Indonesia. Hal ini didasari dari sumber-sumber yang dimiliki DJP.
Misalnya seperti Exchange of Information on Taxation Matters dari sekitar 65 negara yang telah terikat perjanjian bilateral dengan Indonesia, Mutual Aggreement Procedure on Taxation Matters, sampai dengan data offshore leaks, Panama Papers
"Data itu menunjukan, ada WP yang menaruh harta atau asetnya di berbagai negara tax heaven (negara suaka pajak)," ujar Bambang dalam rapat kerja bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat di gedung parlemen, Jakarta, Selasa, 14 April 2016.
Faktor kedua, lanjut Bambang, yakni masih rendahnya kepatuhan para WP dalam melaporkan kewajiban perpajakannya. Berdasarkan data internal DJP tahun lalu, WP terdaftar yang memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) hanya mencapai 18 juta WP.
Namun justru yang terealisasi hanya sebanyak 10,4 juta WP. Mengingat rasio kepatuhan para WP yang masih berada di kisaran 60 persen, artinya masih ada potensi WP yang belum melaporkan SPT sebesar 40 persen dari WP terdaftar. "Data ini belum termasuk warga negara yang kurang lebih 250 juta penduduk potensial yang seharusnya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)," katanya menambahkan.
Faktor ketiga, DJP sendiri memiliki kewenangan yang terbatas terhadap akses data perbankan yang pada akhirnya membuat aktivitas pengawasan di sektor informal dan pencegahan larinya suatu modal ke luar negeri menjadi berkurang.
Terkait dengan hal ini, Menkeu Bambang mengatakan, Organization for Economic Co-Operation and Development telah melakukan peer review dengan negara-negara untuk menandatangani perjanjian keterbukaan informasi perbankan (Automatic Exchange of Information).
"Indonesia dianggap masih sangat tertutup dalaam hal bank secrecy untuk keperluan perpajakan, dan bahkan lebih rendah dari British Virgin Island atau negara yang selama ini dianggap tax heaven."
(mus)Â