Petani Senang dengan Kenaikan Harga Gabah Jadi Rp6.500 Per Kg, Tapi Masih Hadapi Kendala Yaitu…
- VIVA/Ainuni Rahmita
Klaten, VIVA – Para petani di Kabupaten Klaten senang dan menyambut baik kebijakan pemerintah yang menaikkan harga gabah di tingkat petani dari Rp6.000 menjadi Rp6.500 per kilogram.
Keputusan ini diumumkan dalam rapat terbatas yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada 30 Desember 2024 silam.
Kelik Purwanto, petani Klaten sekaligus Ketua Kelompok Tani Sumber Rezeki di Desa Sumber, Kecamatan Trucuk, Klaten, Jawa Tengah mengungkapkan bahwa kebijakan ini memberikan dampak signifikan bagi petani.
Menurutnya, pemerintah tidak hanya menetapkan harga pembelian pemerintah (HPP) yang lebih tinggi, tetapi juga mengawal kebijakan tersebut agar benar-benar dirasakan oleh petani.
“Pemerintah menetapkan HPP yang menurut kami sangat bagus, Rp6.500 kemudian dikawal. Kalau dulu-dulu menetapkan HPP tidak dikawal seperti ini, akhirnya kalau dulu-dulu itu banyak dari hasil pertanian itu dibeli oleh para tengkulak dengan harga yang rendah. Makanya setiap kali panen raya mestinya (petani) tersenyum, itu masih juga susah. Kalau sekarang begitu ini dikawal, jadi kebijakan yang dikawal sampai di tingkat petani transaksinya sudah dikawal, ini sangat bagus,” kata Kelik pada Jumat 21 Maret 2025.
Menurutnya, keuntungan yang diperoleh petani kini bisa mencapai dua kali lipat dibanding sebelumnya. Jika sebelumnya harga jual padi ke tengkulak hanya berkisar Rp4.500.000 hingga Rp5.500.000 per petak sawah, kini harga tebasan bisa mencapai Rp8.000.000 hingga Rp9.000.000.
Bahkan, jika gabah dijual langsung ke Bulog dengan harga Rp6.500 per kilogram, petani bisa mendapatkan antara Rp9.000.000 hingga Rp10.000.000 per petak sawah.
“Ini lumayan sekali. Jadi, kami berterima kasih kepada pemerintah,” ujarnya.
Kendala Mesin Pemanen
Meski demikian, Kelik menyoroti kendala yang masih dihadapi petani, salah satunya adalah tidak adanya mesin pemanen padi atau combine harvester (komben) di desa mereka.
Komben adalah mesin yang dapat memotong, merontokkan, dan mengemas padi dalam satu proses, sehingga sangat membantu dalam percepatan panen.
“Kendalanya di sini soal komben. Jadi, ketika kami sepakat dengan Bulog saatnya panen, kita sampaikan ke Bulog, kemudian ini panennya harus pakai komben sendiri, kita kesulitan, di desa ini nggak ada komben,” jelasnya.
Menurutnya, mendatangkan komben dari luar pun bukan solusi yang mudah, karena keterbatasan jumlah mesin tersebut. Akibatnya, beberapa petani di desanya gagal menyetor hasil panen ke Bulog meskipun sebelumnya sudah ada rencana.
“Kita mau mendatangkan (komben) dari luar, sementara ternyata (komben) dari luar juga sulit. Sehingga ada beberapa kemarin sepakat kita nggak bisa setor ke Bulog, padahal sebelumnya sudah ada rencana,” ujar Kelik.
“Sebenarnya kami mengharapkan pemerintah itu ada perhatian ini, biar kami yang mendukung program pemerintah itu bisa jalan,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa beberapa mesin pemanen yang tersedia justru dikuasai oleh tengkulak, sehingga penggunaannya terbatas bagi petani yang menjual hasil panennya ke mereka.
“Ada komben keliling, tapi ini kan semacam dikontrak sama Tengkulak. Jadi ada komben tapi (saat) panen asalkan itu dibeli sama Tengkulak, misalnya ditebas,” tutupnya.
Dengan kenaikan harga gabah yang membawa harapan baru bagi petani, diharapkan pemerintah juga dapat memberikan solusi atas kendala alat panen agar kebijakan ini benar-benar memberikan manfaat maksimal.