Gas Nasional Hadapi Ketidakseimbangan Pasokan, Penyebabnya Infrastruktur yang Lambat
- Pertamina
Jakarta, VIVA – Pakar Energi Nasional, Prof. Herman Agustiawan mengungkapkan bahwa meskipun Indonesia memiliki cadangan gas yang melimpah, pemanfaatannya masih sangat terbatas.
Salah satu penyebab utama adalah lambatnya pembangunan infrastruktur, terutama untuk menyalurkan gas dari sumber lepas pantai (offshore) ke daerah yang membutuhkan pasokan di daratan.
“Keberadaan sumber energi di offshore membutuhkan infrastruktur yang luar biasa besar. Tanpa percepatan pembangunan, kita akan terus menghadapi ketidakseimbangan pasokan dan permintaan,” kata Herman dikutip pada Kamis, 20 Maret 2025.
Petugas mengecek pasokan LPG Bright Gas
- Pertamina
Herman juga mencatat bahwa sejak 2015, produksi gas Indonesia mengalami penurunan signifikan. Produksi gas nasional turun rata-rata 2,38 persen per tahun, dari 8.078 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD) pada 2015 menjadi 6.640 MMSCFD pada 2023.
Kata dia, penurunan ini berpotensi memperburuk ketidakseimbangan antara pasokan dan permintaan gas di masa mendatang, yang pada akhirnya dapat menyebabkan defisit pasokan.
Selain masalah infrastruktur, Herman juga menekankan pentingnya kepastian hukum dalam sektor migas. Menurutnya, tanpa adanya jaminan hukum yang jelas, investasi di sektor ini akan terhambat, yang pada gilirannya dapat memperburuk krisis pasokan gas.
“Tantangan kita selain infrastruktur adalah kepastian hukum dan bisnis. Ini bukan hal yang bisa dianggap sepele. Penegak hukum harus lebih disiplin dalam menjalankan mandatnya,” jelas Herman.
Dengan semakin menipisnya cadangan gas dan tantangan yang ada, Herman mengusulkan agar Indonesia mempercepat pembangunan infrastruktur gas dan meningkatkan kapasitas produksi migas. Proyek-proyek yang diharapkan dapat beroperasi pada 2027 perlu segera dioptimalkan agar dapat mengimbangi penurunan produksi gas.
Secara keseluruhan, langkah-langkah strategis yang melibatkan pembangunan infrastruktur gas yang lebih cepat, peningkatan kapasitas produksi migas, dan penegakan hukum yang lebih baik diharapkan dapat membantu Indonesia mengatasi potensi defisit gas, dan mencapai ketahanan energi yang lebih baik dalam beberapa tahun ke depan.
Sementara Chairman of Indonesian Gas Society, Aris Mulya Azof mengungkapkan bahwa Indonesia akan semakin bergantung pada impor gas dalam waktu dekat, mengingat peningkatan kebutuhan gas domestik yang terus meningkat.
Aris menyatakan bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor energi, perimbangan antara pasokan dalam negeri dan impor gas menjadi hal yang sangat penting.
“Indonesia saat ini akan membutuhkan lebih banyak impor gas seiring dengan meningkatnya kebutuhan domestik. Meskipun kita cukup banyak mensuplai energi, namun harus ada keseimbangan yang tepat antara pasokan dalam negeri dan luar negeri,” ujar Azof.
Ia menambahkan untuk menjaga ketahanan energi jangka panjang, Indonesia perlu mengelola cadangan gas domestiknya secara optimal, sambil memperhatikan pasokan impor agar tidak bergantung sepenuhnya pada salah satu sumber.
Di sisi lain, Pelaku Usaha Migas, Syarif Bastaman menekankan bahwa gas dalam negeri harus segera dieksploitasi dengan maksimal untuk menghindari ketergantungan pada impor dan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak kehilangan momentum.
“Jika kita tidak segera memanfaatkan gas domestik, kita bisa kehilangan kesempatan besar. Gas dalam negeri seharusnya tidak dianggap sebagai fosil yang harus dihindari. Kita perlu segera mengekploitasi sumber daya ini,” ucap Syarif.