Puma PHK 500 Karyawan, Penjualan Lesu dan Persaingan Brutal Jadi Biang Kerok?
- Puma
Jakarta, VIVA – Perusahaan perlengkapan olahraga global asal Jerman, Puma, tengah menghadapi tekanan besar akibat penjualan yang melemah, terutama di pasar Amerika Serikat dan China. Akibat kondisi ini, Puma mengumumkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 500 karyawan di seluruh dunia, sebagai bagian dari program efisiensi biaya.
Keputusan ini diumumkan usai Puma merilis prediksi kinerja kuartal pertama dan proyeksi tahun 2025 yang mengecewakan. Melansir dari Reuters, Selasa, 18 Maret 2025, Chief Financial Officer Puma, Markus Neubrand, mengatakan, bahwa sekitar 150 dari 500 karyawan yang terdampak PHK akan berasal dari kantor pusat Puma di Herzogenaurach, Jerman.
Selain itu, Puma juga akan menutup beberapa toko yang dinilai tidak menguntungkan. Saat ini, Puma mempekerjakan sekitar 21.000 orang di seluruh dunia. Chief Executive Officer Puma, Arne Freundt, menyebutkan bahwa lemahnya belanja konsumen di AS akibat ketidakpastian ekonomi turut memperparah situasi.
"Bulan Februari berjalan buruk. Maret memang sedikit membaik, tetapi belum cukup,” ujarnya dalam konferensi pers.
Perusahaan juga sedang berusaha menyaingi para pesaing besar seperti Adidas dan Nike, serta menghadapi ancaman dari merek-merek baru yang berkembang pesat seperti On Running dan Hoka. Puma berharap, melalui program pemangkasan biaya ini, mereka dapat mencapai margin EBIT atau laba sebelum bunga dan pajak sebesar 8,5% pada tahun 2027, naik dari 7,1% di tahun 2024.
Tak hanya PHK, Puma juga memberikan proyeksi yang lebih pesimis. Mereka memperkirakan pertumbuhan penjualan kuartal pertama 2025 hanya akan berada di kisaran satu digit rendah, di bawah pencapaian tahun sebelumnya.
Selain itu, Puma memproyeksikan EBIT untuk 2025 antara 520 juta hingga 600 juta euro, sebelum dikenakan biaya satu kali hingga 75 juta euro, yang terkait dengan program efisiensi ini.
Lantaran faktor tersebut, tak heran, saham Puma anjlok hingga 23% ke level 21,90 euro, angka terendah sejak November 2016. Sementara itu, pesaing mereka, Adidas, justru mencatat performa solid pada 2024 dan bersikap lebih hati-hati untuk tahun 2025.
“Perbedaan mencolok antara performa regional Puma dengan Adidas menegaskan betapa pentingnya kekuatan merek dalam mendorong permintaan, sekaligus bagaimana perusahaan harus cermat mengatur operasional di tengah situasi ritel yang tidak stabil," kata Felix Dennl, analis dari Metzler di Frankfurt.
Meskipun penjualan sepatu model retro sempat membantu penjualan Puma tahun lalu, mereka mengakui bahwa lonjakan permintaan untuk sepatu Speedcat, masih belum sesuai ekspektasi. Puma menargetkan penjualan 4 juta hingga 6 juta pasang sepatu Speedcat, tetapi realisasinya masih lambat.
Puma juga mengonfirmasi bahwa produksi dari China kini hanya menyumbang sekitar 10% dari total impor sepatu ke AS, turun dari 30% sebelumnya. Mereka mendorong para pemasok untuk memindahkan produksi ke negara-negara seperti Indonesia sebagai upaya mengurangi risiko tarif impor. Ke depan, Puma masih harus bekerja keras untuk kembali merebut kepercayaan pasar dan bersaing dengan para pemain besar di industri yang nilainya mencapai USD400 miliar atau sekitar Rp6.580 triliun.