Sri Mulyani Ungkap Biang Kerok Penyebab Kurs Rupiah Tembus Rp 16.300 per Dolar AS
- ANTARA
Jakarta, VIVA – Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, yang kerap menginstruksikan sederet perintah eksekutif, telah menjadi salah satu pemicu nilai tukar rupiah mencapai level Rp 16.300 per dolar AS.
Padahal, Menkeu mengatakan bahwa kurs rupiah di akhir 2024 sudah mencapai level Rp 16.162 per dolar AS. Namun sejak Donald Trump dilantik pada awal Januari lalu, terdapat banyak perintah eksekutif yang menimbulkan gejolak sehingga berdampak pada perekonomian di seluruh dunia.
"Dari awal Januari atau sejak Presiden Trump dilantik hingga sekarang, begitu banyak kebijakan executive order Presiden Trump yang terus menerus menimbulkan gejolak," kata Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis, 13 Maret 2025.
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
- VIVA.co.id/M Ali Wafa
"Sehingga hal itu pun turut dirasakan oleh seluruh dunia, dan ini direfleksikan kurs rupiah," ujarnya.
Dia menjelaskan, sampai akhir Februari 2025 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai Rp 16.340, dan secara year-to-date (ytd) telah mencapai Rp 16.309. Sementara inflasi secara tahunan mengalami deflasi sebesar 0,09 persen, dan secara bulanan juga mengalami deflasi sebesar 0,48 persen.
Sri Mulyani menambahkan, surat berharga negara mengalami disrupsi akibat kebijakan Presiden Trump 2.0, dan interaksi dengan negara-negara blok besar seperti misalnya Kanada, Meksiko, dan China, telah menimbulkan gejolak volatilitas nilai tukar dan yield di seluruh negara.
Momen Menteri Keuangan, Sri Mulyani Buka Puasa Bersama Presiden Prabowo Subianto. Sumber Foto: Media Sosial Sekretariat Kabinet
- VIVA.co.id/Rahmat Fatahillah Ilham
"Dan bagi Indonesia, alhamdulillah kalau kita lihat tahun 2024, kita itu bisa menjaga. Hingga akhir Februari sebesar 6,88 persen, dan year-to-date (ytd) 6,98 persen," kata Sri Mulyani.
Meski demikian, Menkeu menegaskan bahwa kondisi semacam ini memang tidak mudah. Hal itu akibat banyaknya shock yang terjadi secara berturut-turut, yang berasal dari kebijakan-kebijakan Amerika Serikat di bawah komando Donald Trump.
"Ini adalah bulan Januari-Februari yang tidak mudah dan tidak biasa. Shock terjadi secara berturut-turut dari executive order dan memunculkan respons," ujarnya.