Tren Career Catfishing di Kalangan Gen Z Bikin HRD dan Perusahaan Sebal, Apa Itu?
- Freepik.com
Jakarta, VIVA – Dalam dunia kerja, fenomena ghosting tidak hanya dialami oleh pelamar, tetapi juga oleh perusahaan. Ya, jika dulu para pencari kerja sering mengalami ketidakpastian karena proses rekrutmen yang lama, atau tiba-tiba dihentikan tanpa kabar, kini giliran perusahaan yang menghadapi hal serupa. Kok bisa?
Fenomena ini dinamakan "career catfishing" yang merupakan kondisi di mana pekerja menerima tawaran kerja, namun tidak pernah muncul dan tanpa pemberitahuan. Tren ini, diketahui sedang marak di kalangan Gen Z dan membuat perekrut frustrasi dan perusahaan kewalahan.
Menurut survei yang dilakukan oleh situs sumber daya karier CV Genius terhadap 1.000 karyawan di Inggris, sekitar 34% pekerja Gen Z telah melakukan career catfishing. Smita Apurva, seorang lulusan Universitas Delhi berusia 22 tahun, mengaku pernah melakukan hal ini sebagai bentuk balas dendam terhadap perusahaan yang membuatnya menunggu berbulan-bulan tanpa kepastian.
Ilustrasi Lamaran Kerja
- freepik.com/yanalya
“Saya melamar banyak pekerjaan di tahun ketiga kuliah dan cukup percaya diri bisa diterima. Namun, banyak perusahaan yang membuat saya menunggu hingga enam bulan,” ujarnya seperti dikutip dari Your Story, Senin, 10 Februari 2025.
Lalu, ketika dia menerima dua tawaran pekerjaan, dia malah memilih untuk tidak muncul di kantor. “Saya tidak tahu apakah keputusan ini benar, tetapi meninggalkan mereka tanpa kabar terasa seperti hal yang tepat. Ada rasa lega setelahnya,” ujarnya.
Di lain sisi, menurut riset Deloitte, Gen Z memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang dunia kerja dibandingkan generasi sebelumnya. Namun, banyak manajer yang tidak menghargai pendekatan ini.
Survei Intelligent.com pada Oktober 2024 menunjukkan bahwa delapan dari sepuluh manajer perekrutan percaya bahwa pekerja Gen Z membutuhkan pelatihan etika kerja, terutama terkait kode berpakaian, tuntutan gaji, dan keterampilan komunikasi.
Bagi Gen Z, fenomena career catfishing ini lebih dari sekadar menghindari pekerjaan, tetapi juga bentuk protes terhadap kurangnya fleksibilitas, ketidaktransparanan dalam deskripsi pekerjaan, dan lingkungan kerja yang tidak memadai. “Gen Z ingin memiliki kendali atas dinamika kekuasaan di tempat kerja dan menginginkan peran yang memberi mereka suara dalam mendesain pekerjaan mereka,” kata Swati Dhir, Associate Professor di International Management Institute, New Delhi.
Selain itu, dengan banyaknya tawaran kerja yang mereka terima, Gen Z memiliki lebih banyak opsi dan dapat membandingkan pengalaman rekrutmen dari berbagai perusahaan. Neelima Chakara, pendiri PurposeLadder, menjelaskan bahwa faktor-faktor seperti transparansi dalam proses rekrutmen, kejelasan deskripsi pekerjaan, dan bagaimana kandidat diperlakukan selama wawancara memengaruhi keputusan mereka.
“Dibutuhkan keberanian, integritas, dan kecerdasan emosional untuk menyampaikan kabar buruk. Mungkin Gen Z menghindari ketidaknyamanan ini dengan melakukan career catfishing,” tambahnya.
Dampak Career Catfishing
Ilustrasi orang bekerja.
Meski bagi sebagian orang career catfishing terasa seperti cara membalas dendam yang setimpal, tetapi dampaknya bisa sangat merugikan, baik bagi individu maupun dunia kerja secara keseluruhan. Chetna Israni, Direktur dan Co-founder Morning Star Brandcom, menilai bahwa tindakan ini tidak hanya merusak kredibilitas individu, tetapi juga memperburuk citra Gen Z sebagai tenaga kerja yang tidak dapat diandalkan.
“Ini berisiko membuat perusahaan mempertanyakan integritas seluruh generasi, yang akhirnya menyulitkan kandidat yang benar-benar kompeten untuk mendapatkan kepercayaan dari perekrut,” kata dia.
Swati Dhir menambahkan bahwa career catfishing juga bisa berujung pada konsekuensi hukum. Jika seorang kandidat telah menandatangani kontrak kerja, perusahaan berhak mengambil tindakan hukum karena ketidakhadirannya melanggar kesepakatan.
Selain itu, tindakan ini juga dapat membuat kandidat masuk daftar hitam perusahaan atau bahkan industri tertentu. “Tren ini bukanlah tanda kekuatan atau strategi, tetapi justru menunjukkan kurangnya kepercayaan diri daripada kompetensi,” ujar Israni.