Bahlil Sebut Energi Hijau Lebih Cocok untuk Industri agar Produk RI Bisa Bersaing di Pasar Global

[dok. Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 30 Januari 2025]
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Jakarta, VIVA - Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, penggunaan energi hijau alias energi baru terbarukan (EBT), lebih cocok dimanfaatkan untuk kebutuhan industri dibandingkan untuk konsumsi rumah tangga.

Soal Pensiun Dini PLTU, Bahlil: Pendanaan dari Lembaga Donor Masih Nol

Sebab, penggunaan energi hijau itu diyakini akan mampu menciptakan produk dengan harga yang lebih bisa bersaing di pasar global.

"Energi hijau ini cocok untuk membiayai industri-industri yang melahirkan produk, yang kemudian harganya bisa kompetitif di pasar global," kata Bahlil di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 30 Januari 2025.

Trump Umumkan AS Keluar dari Paris Agreement, Bahlil: RI di Posisi yang Sangat Dilematis

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis, 30 Januari 2025

Photo :
  • VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya

Dia menjelaskan, penggunaan energi hijau membutuhkan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan energi fosil. Karena itu, apabila energi hijau hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga, maka akan terjadi pembengkakan biaya untuk memproduksi energi tersebut.

Tanggapi Wacana Perguruan Tinggi Kelola Tambang, Bahlil: Niat Baik Kok

“Akan terjadi over-cost, bisa jadi membebani rakyat atau membebani subsidi pemerintah," ujar Bahlil.

Padahal, anggaran untuk subsidi tersebut, menurut Bahlil, bisa digunakan untuk hal-hal lain, yang juga menjadi perhatian dan fokus pemerintah melalui sejumlah program.

Karena itu, lanjut Bahlil, pengembangan EBT memang lebih cocok dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan industri, dibandingkan hanya untuk konsumsi rumah tangga.

Terlebih, Bahlil mengakui bahwa harga gas akan lebih mahal jika digunakan untuk menggantikan peran batu bara dalam pembangkit listrik. Menurut perhitungan dia, diperkirakan selisih keekonomian antara tarif listrik menggunakan batu bara dengan tarif listrik menggunakan gas, bisa mencapai triliunan rupiah akibat harga gas yang lebih mahal. "Gas itu sekitar Rp 2.600 triliun lebih mahal ketimbang batu bara," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya