Hilirisasi Nikel Didorong Berorientasi Hijau hingga Mampu Ciptakan Green Jobs

Ilustrasi Smelter nikel.
Sumber :
  • vstory

Jakarta, VIVA – Pemerintahan Prabowo-Gibran terus menggenjot program hilirisasi nikel, sebagai salah satu upaya meraih target pertumbuhan ekonomi 8 persen sebagaimana yang tercantum dalam Asta Cita.

Investasi Pabrik Airtag Apple di Batam Tidak Sesuai Proposal, Kemenperin: Cuma US$200 Juta

Bukti keseriusan pemerintah antara lain diwujudkan melalui pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025. Bahkan, Bahlil Lahadalia Sang Menteri ESDM pun didapuk sebagai Ketua Satgasnya.

Namun, upaya menggencarkan program hilirisasi nikel itu dihadapkan pada sejumlah tantangan. Salah satunya bagaimana membuat dan melaksanakan kebijakan hilirisasi nikel yang lebih berorientasi pada keberlanjutan lingkungan, utamanya terkait dengan kemungkinan penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs) di Indonesia.

Erick Thohir Beberkan Peran BUMN dari Program Hilirisasi hingga Makan Bergizi Gratis

Menanggapi geliat industri nikel yang memiliki peluang dan tanggung jawab untuk menciptakan green jobs, Deputi Direktur Industri Hijau Kementerian Perindustrian, Taufik Achmad mengatakan, upaya berorientasi hijau setidaknya harus dimulai dari ranah produksi yang ada di smelter-smelter nikel.

"Smelter nikel akan menunjang transisi energi. Namun dalam proses produksinya, kalau tidak melakukan dekarbonisasi ya percuma," kata Achmad dalam keterangannya, Kamis, 23 Januari 2025.

MIND ID Pede RI Mampu Optimalkan SDA Sebagai Motor Penggerak Ekonomi

Dalam upaya tersebut, Dia memastikan bahwa peran serta teknologi sangat penting demi mencapai tujuan hijau yang digadang-gadang itu. "Jadi memang ada beberapa teknologi yang digunakan untuk meningkatkan recovery dan menekan pencemaran," ujar Achmad.

Ilustrasi smelter nikel.

Photo :
  • Istimewa

Geliat hilirisasi ini menurutnya memang masih didominasi oleh sektor energi. Sementara untuk sektor manufaktur dan industri pengolahan non-migas, diakui sampai saat ini masih belum tersentuh.

"Selain menunjang transisi energi, keberadaan smelter nikel berpotensi menciptakan green jobs yang tidak hanya untuk smelter itu sendiri, namun juga ke berbagai industri manufaktur yang berkaitan dengan nikel," ujarnya.

Terkait hal itu, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, Ridwan Arif mengaku, pihaknya menyoroti 3 faktor yang menjadi alasan mengapa saat ini hilirisasi belum bisa dikatakan sebagai green jobs. Selain masih panjangnya konteks pekerjaan hijau dalam ranah hilirisasi, nyatanya hingga kini masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan green jobs.

"Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan," kata Ridwan.

Oleh karena itu, Ridwan menegaskan bahwa industri pengolahan nikel sudah seharusnya memenuhi prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG), guna menuju transformasi ke arah dekarbonisasi industri dan praktik industri yang bertanggung jawab.

"Industri nikel yang bertanggung jawab akan memiliki implikasi jangka panjang, baik terhadap ekosistem lokal maupun daya saing produk nikel Indonesia di pasar internasional," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya