Heboh Pagar Laut Misterius 30 Km di Perairan Tangerang, KKP: Pelanggaran dan Ancaman bagi Lingkungan
- VIVA.co.id/Andrew Tito
Jakarta, VIVA – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan tegas menyatakan bahwa segala bentuk pemanfaatan ruang laut tanpa memiliki izin dasar berupa Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) merupakan pelanggaran hukum. Hal ini ditegaskan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut (DJPKRL), Kusdiantoro, dalam menanggapi kasus pemagaran sepanjang 30 kilometer di perairan Laut Tangerang, Provinsi Banten.
Kusdiantoro menjelaskan bahwa pemagaran laut mencerminkan upaya memperoleh hak atas tanah di perairan laut secara tidak sah. Praktik tersebut tidak hanya mengancam keadilan akses publik, tetapi juga membuka peluang privatisasi ruang laut yang berpotensi merusak keanekaragaman hayati.
“Pemagaran semacam ini dapat menyebabkan penutupan akses bagi masyarakat, perubahan fungsi ruang laut, serta ancaman terhadap keberlanjutan lingkungan. Hal ini juga bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diatur dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982,” jelas Kusdiantoro, Kamis, 9 Januari 2025.
Ia menambahkan bahwa paradigma hukum pemanfaatan ruang laut telah berubah menjadi rezim perizinan sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 3/PUU-VIII/2010. Tujuan utamanya adalah memastikan ruang laut tetap menjadi milik bersama yang adil dan dapat diakses oleh semua pihak.
Anggota Ombudsman RI, Hery Susanto, menyoroti pentingnya sinergi lintas lembaga untuk menangani kasus pemagaran laut. Menurutnya, Ombudsman siap melakukan investigasi jika ditemukan indikasi malapraktik, termasuk penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang tidak sesuai prosedur.
“Hasil investigasi Ombudsman bisa menjadi dasar untuk tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pelanggar,” ungkap Hery.
Sementara itu, Ketua Umum Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI), Rasman Manafi, menyatakan bahwa pemagaran laut adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan. Ia menekankan perlunya penguatan pengawasan untuk mencegah privatisasi ruang laut dan memastikan partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.
Pendapat tersebut diamini oleh Sumono Darwinto, Ketua HAPPI sekaligus Direktur Pengawasan Sumber Daya Kelautan di Ditjen PSDKP KKP. Ia menyebut bahwa pelanggaran serupa telah banyak ditemukan di berbagai daerah tanpa KKPRL.
“Sanksi administratif seperti denda hingga pembongkaran dapat diberlakukan kepada para pelanggar,” tegasnya.
Plt. Direktur Penataan Ruang Laut, Suharyanto, menambahkan bahwa pemberian Sertifikat Hak Milik (SHM) di ruang laut jelas bertentangan dengan UUD 1945.
“Tindakan ini tidak hanya mengancam hak masyarakat tradisional, tetapi juga membuka pintu bagi privatisasi yang merugikan kepentingan bersama,” paparnya.
Menurutnya, KKP telah melakukan investigasi sejak September 2024, termasuk analisis citra satelit dan rekaman geotagging selama 30 tahun terakhir. Hasilnya menunjukkan bahwa area tersebut tidak pernah menjadi daratan, melainkan wilayah sedimentasi.
Di sisi lain, Analis Pertanahan Paberio Napitupulu menegaskan bahwa Kementerian ATR/BPN memiliki wewenang untuk mencabut sertifikat yang diterbitkan secara malaadministratif, sehingga hanya wilayah darat yang sah memiliki sertifikat hak atas tanah.
Gangguan terhadap Nelayan
Berdasarkan laporan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Banten, pemagaran sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang telah berdampak langsung pada ribuan nelayan dan pembudidaya ikan. Laporan yang diterima sejak Juni 2024 menunjukkan adanya gangguan terhadap aktivitas nelayan tradisional.
“Pemagaran laut ini mempersulit akses nelayan ke lokasi penangkapan ikan serta merugikan ekonomi masyarakat pesisir,” ujar perwakilan DKP Banten dalam diskusi tersebut.
DKP telah melakukan inspeksi lapangan untuk mencari solusi terbaik sejak September 2024. Diskusi ini turut dihadiri oleh 16 kepala desa, perwakilan nelayan yang tergabung dalam Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), serta organisasi Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN). Mereka menyerukan langkah konkret pemerintah pusat dan daerah untuk menghentikan privatisasi ruang laut.