Kaleidoskop 2024: Raksasa Tekstil RI Tumbang Dijerat Utang Triliunan, Industri Mulai Sunset hingga Berujung PHK
- VIVA.co.id/Fajar Sodiq (Solo)
Jakarta, VIVA – Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Tanah Air pada tahun 2024 kian terpuruk. Hal itu diperkuat dengan fenomena pailitnya raksasa tekstil RI, PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau Sritex.
Setelah diputus pailit di pengadilan niaga beberapa bulan lalu, Sritex pun mengajukan kasasi. Alhasil, pengajuan kasasi Sritex pun ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) yang dibacakan dalam sidang yang digelar pada Rabu, 18 Desember 2024 lalu. Dengan demikian, PT Sritex tetap dinyatakan pailit meski tengah dalam upaya penyelamatan oleh pemerintah.
"Amar putusan: Tolak," bunyi putusan tersebut seperti dikutip dari laman resmi MA.
Daftar Utang Sritex
Sritex memang memiliki utang yang besar. Menurut laporan keuangannya, liabilitas emiten berkode SRIL itu tercatat di angka US$1,6 miliar atau sekitar Rp 25 triliun pada semester I-2024. Utang Sritex didominasi utang jangka panjang yaitu sebesar US$1,47 miliar dan sisanya jangka pendek yaitu US$131,42 juta.
Setidaknya ada 28 bank kreditur yang memberikan utang jangka panjang ke Sritex, berikut daftarnya:
1. PT Bank Central Asia Tbk - US$71.309.857
2. State Bank of India, Singapore Branch - US$43.881.272
3. PT Bank QNB Indonesia Tbk - US$36.939.779
4. Citibank N.A., Indonesia - US$35.828.895
5. PT Bank Mizuho Indonesia - US$33.709.712
6. PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk - US$33.270.249
7. PT Bank Muamalat Indonesia - US$25.450.735
8. PT Bank CIMB Niaga Tbk - US$25.339.757
9. PT Bank Maybank Indonesia Tbk - US$25.164.698
10. PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah - US$24.802.906
11. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk - US$23.807.151
12. Bank of China (Hong Kong) Limited - US$21.775.703
13. PT Bank KEB Hana Indonesia - US$ 21,531,858
14. Taipei Fubon Commercial Bank Co., Ltd. - US$20.000.000
15. Woori Bank Singapore Branch - US$19.870.570
16. Standard Chartered Bank - US$19.570.364
17. PT Bank DBS Indonesia - US$18.238.799
18. PT Bank Permata Tbk - US$16.707.799
19. PT Bank China Construction Indonesia Tbk - US$14.912.907
20. PT Bank DKI - US$9.130.551
21. Bank Emirates NBD - US$9.614.459
22. ICICI Bank Ltd., Singapore Branch - US$6.959.350
23. PT Bank CTBC Indonesia - US$6.950.110
24. Deutsche Bank AG - US$6.821.159
25. PT Bank Woori Saudara Indonesia 1906 Tbk - US$4.970.990
26. PT Bank Danamon Indonesia Tbk - US$4.519.552
27. PT Bank SBI Indonesia - US$4.380.882
28. MUFG Bank, Ltd. - US$23.777.384
BNI Jadi Salah Satu Bank yang Bakal Koordinasi dengan para Kreditur
Pasca-putusan MA, BNI menjadi salah satu kreditur yang buka suara. PT Bank Negara Indonesia Tbk (Persero) atau BNI sebagai salah satu kreditur PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) mendapatkan dukungan pemerintah untuk berkoordinasi dengan para kreditur guna memastikan keberlangsungan usaha Sritex.
Hal ini merespons Mahkamah Agung (MA) yang secara sah menolak kasasi yang diajukan oleh Sritex. Dengan ditolaknya kasasi tersebut, PT Sritex dinyatakan tetap pailit. Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan, perseroan akan berdiskusi lebih lanjut dengan Pemerintah dan kreditur Sritex lainnya terkait pusuan tersebut.
“Kami akan terus berkoordinasi dengan pihak terkait, termasuk pemerintah, manajemen Sritex, dan lembaga lainnya untuk merumuskan langkah-langkah strategis dalam mengkaji going concern Sritex,” kata Royke dalam keterangannya, Sabtu, 21 Desember 2024.
Pemerintah Perlu Ambil Jalan Memutar
Menurut Mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, pemerintah saat ini memang tidak bisa apa-apa untuk ‘masuk’ ke kasus kepailitas Sritex karena sepenuhnya wewenang yudikatif, lembaga peradilan.
Meski demikian, menurutnya, Pemerintah tetap mencari jalan yang memungkinkan. “Memang bisa saja. Lewat jalan memutar,” kata Dahlan dikutip dari catatan hariannya di Disway.id.
Pemerintah, lanjut Dahlan, memang pernah sukses menyelamatkan Garuda Indonesia dari pailit dan dapat potongan utang sampai sekitar 80 persen. Sisanya pun separuhnya dibayar dengan saham.
“Kepentingan pemerintah di Sritex sebatas membela buruh yang jumlahnya mencapai 30.000 orang. Nasib buruh hanya bisa selamat kalau perusahaan kembali beroperasi,” tuturnya.
Kini, keputusan sepenuhnya ada di tangan empat kurator, yang apakah memiliki niat untuk menghidupkan kembali Sritex. “Sampai sekarang belum ada indikasi ke mana arah kurator. Di sinilah pemerintah punya jalan, bukan jalan lurus. Harus memutar, yakni lewat bank-bank milik pemerintah. terutama BNI. Utang Sritex ke BNI sangat besar hampir Rp 3 triliun tepatnya Rp 2,99 triliun,” tutur Dahlan.
Ia melanjutkan, sebagai kreditor besar Sritex, BNI dan bank pemerintah lainnya dinilai bisa aktif berkomunikasi dengan kurator dan hakim pengawas.
10 Ribu Buruh Sritex yang Terancam PHK Bakal Demo ke Jakarta
Sebanyak 10 ribu karyawan perusahaan tekstil terbesar di Indonesia PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex akan menggeruduk ke Jakarta untuk menagih janji kepada Presiden Prabowo Subianto.
Ribuan karyawan itu terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) setelah Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan Sritex setelah Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang menyatakan pailit.
Koordinator Serikat Pekerja Sritex Grup Slamet Kaswanto mengatakan ribuan karyawan Sritex ingin melakukan aksi demo di Jakarta pasca putusan kasasi yang ditolak MA.
Ia berharap pemerintah mendukung aspirasi yang diperjuangkan para buruh karena sebelumnya Presiden RI Prabowo Subianto pernah menjanjikan untuk ikut memperjuangkan nasib puluhan ribuan karyawan Sritex pasca putusan pailit.
“Kita rencana minggu depan akan melakukan aksi di Mahkamah Agung. Kita juga akan roadshow juga ke presiden, kantor presiden dalam upaya untuk memberikan semangat kepada Presiden Pak Prabowo, karena Pak Prabowo sudah menyatakan kesiapannya untuk membela buruh Sritex,” kata dia usai mengikuti istighotsah yang diikuti ribuan karyawan Sritex di Sukoharjo, Jumat, 27 Desember 2024.
Sunset Industri Tekstil dan Produk Tekstil, Pabrik Tutup Berguguran
Industri TPT memang tengah mengalami tren sunset atau meredup di sepanjang tahun ini. Padahal, industri tersebut sempat mengalami pertumbuhan positif sebelum pandemi COVID-19.
Menurut data Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia mencatat, sebanyak 30 perusahaan tekstil sudah tutup dalam dua tahun terakhir. Sementara pabrik tekstil lain yang masih beroperasi, saat ini hanya bekerja pada level kapasitas produksi di kisaran 45-70 persen saja. Apalagi, lebih dari 15.000 pekerja tekstil diketahui telah terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) pada periode Januari hingga September 2024.
Salah satu biang sebab dari kondisi itu adalah terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, yang awalnya bertujuan untuk memperlancar arus barang di pelabuhan dan mengatasi penumpukan puluhan ribu kontainer. Namun nahas, dalam implementasinya beleid itu justru menimbulkan berbagai dampak signifikan bagi industri tekstil nasional.
Salah satu poin penting dalam aturan ini adalah penghapusan persyaratan pertimbangan teknis (Pertek) untuk beberapa komoditas impor, yang sebelumnya diwajibkan dalam Permendag No. 36/2023 guna memangkas kendala birokratis dan mempercepat alur distribusi barang.
Sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Joko Widodo kala itu untuk merevisi Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, Permendag 8/2024 pun terbit guna menyelesaikan kendala perizinan impor dan penumpukan kontainer di pelabuhan utama seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak.
Salah satu isi Permendag No. 8/2024 itu adalah terkait syarat permohonan Persetujuan impor (PI) oleh importir pemilik Angka Pengenal Importir-Produsen (API-P) untuk barang komplementer, tes pasar, dan purna jual dari 18 komoditas. Dimana impor semua komoditas itu sebelumnya dibatasi, namun akhirnya berubah menjadi tanpa memerlukan pertimbangan teknis (Pertek) tersebut.
Hingga akhirnya, Permendag No. 8/2024 itu pun menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri tekstil. Penghapusan Pertek dianggap membuka peluang bagi masuknya produk tekstil impor secara masif, yang dapat mengancam keberlangsungan industri lokal.
Beberapa dampak yang telah dirasakan antara lain seperti peningkatan impor tekstil. Dimana, data menunjukkan adanya lonjakan impor produk tekstil setelah Permendag No. 8/2024 diberlakukan, dan menyebabkan persaingan yang semakin ketat bagi produsen lokal.
Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kementerian Perindustrian, Reny Yanita mengatakan, impor tekstil dan produk tekstil (TPT) tercatat meningkat 34 persen, setelah pemerintah menerbitkan Permendag No 8/2024. Padahal, impor TPT sempat turun saat Permendag No. 36/2023 diberlakukan.
"Terbitnya Permendag 8/2024 pada 17 Mei 2024 lalu yang merelaksasi impor TPT, menyebabkan impor TPT kembali naik pada bulan Mei 2024 menjadi 194.870 ton dari semula 136.360 ton pada April 2024," kata Reni di kantor Kemenperin pada Juli 2024 lalu.
Dampak lain dari Permendag No. 8/2024 itu yakni maraknya penutupan perusahaan-perusahaan tekstil, akibat tekanan persaingan dengan produk impor yang lebih murah. Hal itu pun otomatis diikuti dengan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) belasan ribu karyawan di sektor tersebut.
"Untuk industri besar memang ini ada beberapa PHK yang dilakukan, walaupun kalau dihitung juga tidak lebih dari 20.000 ya, hanya 11.000 (Pekerja)," ujarnya.
Faktor Ramai PHK di Industri Tekstil
Terkait fenomena meredupnya industri tekstil di 2024 yang antara lain terlihat dari gambaran pailitnya raksasa Sritex dan kondisi PHK yang menimpa ribuan pekerjanya itu, Bahlil Lahadalia yang pada bulan Juli 2024 lalu masih menjabat sebagai Menteri Investasi/Kepala BKPM, turut angkat bicara terkait hal tersebut.
Saat itu, Bahlil membeberkan sejumlah faktor yang dianggap menjadi biang kerok dari fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, utamanya yang terjadi di sejumlah pabrik tekstil wilayah Jawa Barat. Menurutnya, selain memang ada pabrik tekstil yang benar-benar gulung tikar hingga harus menutup usahanya, nyatanya ada pula sejumlah pabrik tekstil yang memindahkan bisnisnya ke daerah lain sehingga menyebabkan terjadinya PHK tersebut.
"Memang benar terjadi PHK di beberapa tempat di Jawa Barat, tapi ini ada dua (faktor). Yang satu relokasi pabrik dari Jawa Barat ke daerah lain, dan ada juga yang memang menutup pabriknya," kata Bahlil.
Dia pun menjabarkan dua faktor utama yang membuat industri tekstil lokal mengalami tekanan hebat. Pertama yakni soal kondisi mesin-mesin produksi yang sudah makin menua, dan kedua adalah soal biaya keekonomian yang lebih tinggi dibanding kompetitor dari negara lain.
"Jadi selain mesin-mesinnya sudah tua, yang kedua biaya ekonominya lebih tinggi dibanding negara lain. Sehingga hal ini terkait dengan produktivitas kerja kita. Maka kita harus cari jalan tengah," ujarnya.
Dia mengakui, penutupan sejumlah pabrik tekstil hingga menyebabkan PHK massal serta berhentinya aktivitas produksi, juga telah berdampak pada berkurangnya penerimaan negara. Namun, Dia mengatakan bahwa meskipun ada pabrik yang tutup, namun nyatanya ada juga pabrik baru yang dibuka sebagai bagian dari realisasi investasi.
"Tapi jangan sedih, karena pasti ada yang pergi dan ada juga yang datang. Contohnya kemarin kita resmikan pabrik sepatu di Kawasan Industri Terpadu Batang, di Jawa Tengah. Itu menciptakan lapangan kerja 2 ribu lebih," ujarnya.
Senada dengan Bahlil, Ekonom Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi mengaku, pihaknya meragukan bahwa Permendag No. 8/2024 merupakan biang kerok pailitnya Sritex dan terpuruknya industri tekstil Tanah Air. Menurutnya, ada banyak faktor yang menyebabkan industri tekstil tertekan, yang bahkan gejalanya sudah terjadi sejak satu dekade lebih yang lalu.
"Industri tekstil lebih satu dekade berada di bawah tekanan. Ada banyak hal yang kemudian menggerogoti kinerja industri tekstil," kata Fithra.
Dia mencontohkan, salah satu penyebab industri tekstil tertekan adalah ongkos produksi yang cukup mahal, serta produktivitas yang tidak memadai. Sehingga, hal itu membuat industri tekstil lokal kesulitan bersaing dengan produk lain. Faktor lain yang menyebabkan industri tekstil babak belur di tahun 2024, antara lain adalah input produksi akibat banyak pelaku usaha yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan baku.
"Jadi ketika industri tekstil ingin mendapatkan input produksi yang juga berasal dari luar negeri, hal itu juga dipenuhi pembatasan-pembatasan," ujarnya.
Fithra mengatakan, banyak sekali peraturan impor yang membatasi sehingga membuat industri tekstil kesulitan untuk mendapatkan akses bahan baku murah. Selain itu, ada pula kesulitan bahan baku murah yang membuat harga hasil produksi sulit untuk bersaing dengan produk lainnya, sehingga harga yang dihadirkan tidak kompetitif.
Dari faktor-faktor tersebut, Fithra meyakini bahwa keterpurukan industri tekstil nasional tidak bisa dikambinghitamkan pada faktor tunggal Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Sebab, menurutnya berbagai tekanan bagi industri tekstil tersebut sudah terjadi selama satu dekade terakhir.
Karenanya, alih-alih menyalahkan Permendag Nomor 8 Tahun 2024 sebagai faktor utama penyebab pailitnya Sritex, Dia justru menekankan adanya inefisiensi dan mismanagement di dalam sektor industri tersebut. Fithra punmenyarankan agar industri tekstil bisa bertumbuh positif dengan melakukan pembenahan secara menyeluruh.
"Dari sisi industri tekstilnya sudah harus ada pembenahan industri secara masif dalam konteks ekosistemnya," ujarnya.