5 Alasan Inflasi Tetap Terkendali Meski PPN Jadi 12 Persen pada 2025

Ilustrasi Inflasi
Sumber :
  • Freepik

Jakarta, VIVA – Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen pada 1 Januari 2025 kini sedang menjadi sorotan masyarakat. PPN 12 persen ini dikhawatirkan akan mempengaruhi inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia. 

Tol Cimanggis-Cibitung Diskon 10 Persen saat Musim Libur Nataru, Cek Tarifnya

Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengatakan meski ada kenaikan tarif PPN ke 12 persen, inflasi inti diperkirakan akan tetap rendah. 

"Inflasi inti diproyeksikan tetap rendah karena pengendalian harga bahan pangan dan barang strategis, serta kebijakan fiskal yang mendukung daya beli," ujar Josua kepada VIVA Senin, 23 Desember 2024. 

Kebijakan PPN Berasaskan Adil dan Gotong Royong, Pemerintah Diyakini Lakukan Ini

Josua menjelaskan, tetap rendahnya laju inflasi meski tarif PPN naik disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, kenaikan tarif PPN sebagian besar difokuskan kepada barang dan jasa yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat menengah ke atas, termasuk barang mewah seperti beras premium, daging wagyu, dan layanan pendidikan premium.

Ekonomi Indonesia

Photo :
  • VIVA.co.id/M Ali Wafa
PPN Jadi 12 Persen Ditegaskan Tak Bikin Daya Beli Loyo, Ekonom Ungkap Perhitungannya

"Sementara itu, barang kebutuhan pokok seperti beras biasa, gula, dan susu segar tetap dibebaskan dari PPN, sehingga dampak terhadap inflasi konsumsi rumah tangga yang lebih luas tetap minimal," terangnya. 

Kedua, pemerintah juga memberikan sejumlah insentif dalam bentuk pembebasan PPN pada beberapa sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, transportasi umum, dan UMKM. 

"Total insentif perpajakan PPN diproyeksikan mencapai Rp 265,6 triliun pada 2025. Kebijakan ini membantu mempertahankan daya beli masyarakat secara keseluruhan, meskipun terjadi kenaikan tarif PPN," jelasnya. 

Ketiga jelas Josua, inflasi volatile food mengalami penurunan akibat stabilisasi harga pangan, yang didukung oleh berbagai kebijakan pemerintah untuk menjaga supply dan subsidi pangan. Menurutnya, ini mengimbangi potensi tekanan inflasi akibat kenaikan PPN.

Di samping itu yang keempat, berbagai stimulus lainnya diberikan pemerintah karena penyesuaian kenaikan tarif PPN 12 persen. Seperti diskon listrik untuk kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, serta bantuan pangan bagi rumah tangga miskin selama Januari-Februari 2025. 

"Stimulus selama dua bulan dapat memberikan dampak sementara yang signifikan untuk menjaga daya beli, terutama dalam menghadapi awal tahun yang biasanya penuh tantangan ekonomi," ucapnya. 

Kemudian alasan yang kelima, untuk sektor padat karya, pemerintah memberikan stimulus berupa PPN DTP untuk kendaraan listrik dan hybrid. Menurutnya, insentif ini akan memperkuat produktivitas sektor ini, yang juga mendorong penciptaan lapangan kerja baru.

Gedung Kementerian Keuangan Republik Indonesia

Photo :
  • vivanews/Andry Daud

"Stimulus tersebut ini diharapkan menjaga daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi domestik sebagai komponen utama PDB," terangnya. 

Adapun terkait indikator ekonomi, Josua menilai bahwa konsumsi rumah tangga akan stabil bahkan meningkat. Pada tahun 2024 pertumbuhan ekonomi diperkirakan sebesar 4,9 persen secara year on year (yoy). 

"Tahun depan, dengan potensi dampak El-Nino yang berakhir dan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga kembali normal ke kisaran 5 persen, maka pertumbuhan ekonomi tahun 2025 diperkirakan masih akan berada di kisaran 5 persen," jelasnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya