Ekspor Kopi Manggarai Timur dalam Bayang-bayang Anti Deforestasi Uni Eropa
- Jo Kenaru
Manggarai, VIVA – Ada tiga unsur penting dalam Undang-Undang Anti Deforestasi Uni Eropa atau EUDR terkait aturan main ekspor komoditas yakni deforestasi, keterlusuran dan legalitas.
Dalam undang-undang tersebut sejumlah komoditas nantinya dinilai secara ketat prinsipnya harus bebas dari tindakan penyebab deforestasi atau penggundulan hutan.
Saat ini, regulasi tersebut sedang memasuki masa transisi dan akan berlaku pada 2025.
Salah satu jenis komoditas yang diatur dalam EUDR yakni ekspor impor kopi termasuk kopi Arabika dari Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur yang laku keras di pasar Eropa.
Ketua asosiasi Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Manggarai, Yos Janu mengatakan kekhawatiran terbesar MPIG saat ini adalah ancaman eksistensi kopi Manggarai di pasar ekspor tujuan Eropa.
Dalam menanggapi isu ini, MPIG sudah berkoordinasi dengan BKSDA NTT/TWA Ruteng karena lokasi-lokasi sumber kopi yang diterima pasar ekspor mayoritas terverivikasi berada di titik-titik penyangga atau bahkan sudah beririsan dengan kawasan konservasi.
“Seperti diketahui dalam dokumen ketelusuran kopi Manggarai terdapat desa-desa yang terlanjur masuk ke dalam kawasan konservasi. Desa-desa itu kini diampu oleh BKSD NTT dan TWA Ruteng,” kata Yos Janu kepada VIVA di sela-sela kegiatan penanaman 2000 pohon endemik di hutan konservasi Rana Poja Manggarai Timur, Selasa 11 Desember 2024.
Ia mengatakan, dampak nyata dari aktivitas deforestasi ini menyebabkan krisis air minum yang mulai dirasakan di desa-desa penghasil kopi di Kecamatan Lamba Leda Selatan dan Lamba Leda Timur yaitu desa Golo Nderu, Desa Poco Lia, Desa Rendenao, Desa Wejang Mawe dan Desa Tango Molas.
“Isu Danau Rana Poja yang menjadi sumber air untuk ribuan masyarakat sudah hampir kering akibat deforetasi di area tangkapan air di atas puncak Rana Poja,” kata Yos Janu.
“MPIG terus menjaga eksistensi kopi Manggarai Timur agar tetap pada jalurnya. MPIG berusaha agar persoalan deforestasi kawasan konservasi menjadi kebun kopi tidak mengancam penjualan kopi dari Manggarai Timur di pasar Eropa. Usaha terus menerus untuk menegakkan prinsip ketelusuran dan kepatuhan dilaksanakan baik itu ke hulu maupun ke hilir ekosistem kopi,” imbuhnya.
10.000 hektare kebun kopi dalam Kawasan TWA
Kepala Bidang II BKSDA Ruteng, Daniwari Widiyanto menerangkan, TWA Ruteng memiliki luas Kawasan 33.000 hektare yang membentang dari Manggarai dan Manggarai Timur.
Lebih dari 24 ribu hektare-nya masuk dalam wilayah administrasi Pemerintah Kabupaten Manggarai Timur sisanya kurang lebih 8 ribu hektare di Kabupaten Manggarai.
Dari angka tersebut, kata Daniwari, ditemukan hutan kopi dalam Kawasan TWA yang didata sebagai milik masyarakat seluas 10.000 hektare.
“Itu data 2015 kalau tidak salah dalam dokumen penataan blok itu ada kurang lebih 10.000 hektar itu mungkin tumpang tindih dengan penggarapan kebun kopi oleh Masyarakat,” ungkap Daniwari Widiyanto kepada ViVa.
Persoalan tersebut, lanjutnya dikategorisasikan sebagai aksi pencaplokan yang terjadi dari masa lampau (2000-an) yang disebutnya sebagai keterlanjuran.
Terhadap persoalan masyarakat menggarap kebun kopi dalam kawasan TWA Ruteng sedang dalam proses penyelesaian yang berkebetulan pengaturannya tertuang dalam Permen LHK No 14 Tahun 2023.
“Mulai tahun lalu kami coba selesaikan dengan skema Permen LHK Nomor 14 Tahun 2023. Setelah itu kami screening data yang terkumpul yang memenuhi syarat baru bisa kami ajukan ke pusat untuk PKS (perjanjian kerja sama) kemitraan konservasi itu melalui kelompok. Beberapa pendataan yang dilakukan baru di Wejang Mawe kemudian Urung Ndora itu yang sudah kami ajukan ke pusat 100,19 hektare,” sebutnya.
“Pemerintah tidak menafikan ada keterlanjuran telah dilakukan di dalam kawasan konservasi tapi ada upaya juga bagaimana itu kemudian tidak menimbulkan konflik. Di Permen itu kita beri ruang untuk kerjasama kemitraan konservasi pemulihan ekosistem. Ada jangka waktunya ada kewajiban ada hak yang harus di penuhi petani. Tapi kita tidak mengizinkan dalam untuk okupasi baru ya itu hanya untuk penyelesaian yang keterlanjuran,” tutupnya.
Gencar menanam pohon endemik
Masyarakat di Kecamatan Lamba Leda Timur Kabupaten Manggarai Timur Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak tahun 2023 dibayangi krisis air minum menyusul makin kecilnya debit di sumber air Rana Poja.
Upaya pemulihan ekosistem Danau Rana Poja adalah solusi yang disegerakan. Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis (MPIG) Kopi Arabika Flores yang selama ini mengampu ribuan petani kopi di Manggarai Timur menggagas gerakan menghutankan kembali area tangkapn air dengan menanam pohon endemik sebanyak 2000 anakan di lingkar Danau Rana Poja.
MPIG Kopi Arabika Manggarai pada prinsipnya mengambil peran memperkuat peran masyarakat petani kopi dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hutan.
Aksi menanam pohon endemik dilakukan di poros Timur ruas Ruteng-Elar sebelum pertigaan Benteng Jawa-Colol pada Selasa 10 Desember 2024.
Kegiatan yang diberi subtema penanam pohon endemik di area tangkapan air tersebut dilaksanakan setelah misa ekologis di pinggir jalan dan berjalan dalam kondisi hujan sedang disertai kabut tebal sehingga seluruh peserta kegiatan memakai mantel dari plastik.
Disaksikan, aksi pemulihan ekosistem Rana Poja tersebut melibatkan 3 kelompok tani kopi Arabika yakni Kelompok Moeng Mose, Momang Tana dan Sadar Lestari yang berasal dari Desa Wejang Mali.
MPIG bersama TWA Ruteng juga menggandeng puluhan siswa-siswi SMKN 1 Poco Ranaka Timur, TNI-Polri dan wartawan.
Ketua MPIG Arabika Manggarai, Yos Janu menjelaskan, jenis pohon lokal yang disiapakan seperti Natu, Namut, Langke, Uwu ditambah Bambu dan Ara yang ditanam serempak di atas lokasi seluas 3,5 hektare.
“Kita sudah buatkan jalur tanamnya kita juga sudah gali lubangnya semua. Hari ini ada 2000 pohon lokal yang ditanam,” kata Yos Janu.
Yos Janu mengatakan, penyelamatan sumber air di Rana Poja merupakan tanggung jawab semua pihak, pemerintah, petani kopi, generasi muda dan dunia pendidikan.
“Satu hal yang paling penting petani menghasilkan komoditinya (kopi) tetapi di sisi lain kita harus memperhatikan keselamatan lingkungannya. Segelas kopi yang kita keluarkan ini akan bernilai emas kalau diimbangi dengan keselamatan alamnya,” imbuhnya.
“Kalau di Kopi Tirto secangkir kopi merawat bumi di sini saya mau katakan juga le ca mok kopi (secangkir kopi) kita selamatkan Rana Poja,” pesan Yos Janu.
Bukan seremonial
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Manggarai Timur, John Sentis ketika membuka secara resmi kegiatan tersebut berharap agar penanaman pohon lokal di area tangkapan air Rana Poja bukanlan kegiatan seremonial semata tapi upaya serius menyelamatkan kehidupan melalui pelestarian alam.
“Yang menjadi tantangan bagi kita semua juga masyarakat di sekitar kawasan ini Rende Nao, Wejang Mawe, Wejang Mali dan semuanya adalah bagaimana menjaga pohon yang kita tanam hari ini itu bisa hidup sampai menjadi hutan kembali tempat yang sudah kritis ini,” ungkap Kadis Sentis.
“Jadi kita tidak sekedar seremonial melakukan penanaman hari ini tapi bagaimana kita berupaya bersama secara kolektif terkait Rana Poja ini supaya menjaga hutan ini minimal 2000 yang kita tanam hari ini,” tambahnya.
Hutan ibu kandungnya air
Menurut Sentis, ancaman hilangnya sumber air Rana Pojam akin nyata dan itu tidak terlepas dari ulah masyarakat yang menebang hutan dan menggarap dalam kawasan TWA menjadi hutan kopi.
“Hutan dan air itu ibarat ibu dan anak hutan Itu mamanya air. Hutan ini adalah mama kandungnya daripada air yang kita minum ini. Upaya kita supaya air itu tidak berhenti mengalir. Kemudian kita harus menjaga ini hutan mana bagian hutan mana lahan kita jangan menganggap kebun semua padahal ada yang disebut dengan hutan negara,” sentil Sentis. (Jo Kenaru/NTT)