IHSG Diramal Ngegas ke Level 8.000, Potensi Perang Dagang AS-China Bukan Halangan
- VIVAnews/M Ali Wafa
Jakarta, VIVA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diperkirakan terbang ke area 8.000 pada tahun 2025 meski pasar dihadapkan pada potensi perang dagang global. Inflasi dan daya beli masyarakat menjadi pendorong pasar modal domestik tetap positif.
Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Rully Arya Wisnubroto menyampaikan, volatilitas pasar saham Indonesia cukup besar pada tahun ini. Terbukti, IHSG sempat mencapai rekor tertinggi di level 7.905.
Posisi all high time (ATH) IHSG tersebut mendekati prediksi target Mirae Asset tahun 2024, yakni di level 7.915. Sayangnya, indeks segera terkoreksi imbas dinamika pasar akibat berbagai sentimen global dan domestik.
“Prediksi positifnya pasar modal domestik didukung kekuatan dua faktor makroekonomi dalam negeri, yaitu inflasi stabil dan daya beli yang terjaga,” ujar Rully yang dikutip dari keterangan resmi pada Senin, 9 Desember 2024.
Rully menilai, tingkat inflasi Indonesia terus menunjukkan tren penurunan. Kondisi tersebut tidak lepas dari pengaruh stabilitas harga bahan makanan.
Inflasi yang terkendali turut membantu menjaga daya beli masyarakat. Khususnya pada sektor pangan yang menjadi indikator utama inflasi.
Lebih lanjut, Rully memprediksi tingkat inflasi berada di level 2,8 persen pada 2025. Sejalan dengan Bank Indonesia (BI), Rully memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan mencapai 5 persen.
Terkait suku bunga, Rully memperkirakan ruang penurunan suku bunga acuan dalam negeri (BI rate) akan lebih terbatas akibat kondisi makroekonomi global. Tingkat suku bunga acuan diprediksi berada pada level 5,5 persen pada akhir tahun 2025.
Tidak lain dampak dari kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) di bawah pemerintah baru. Menurut Rully kebijakan ekonomi AS cenderung berorientasi ke dalam (inward-looking).
“Regulasi baru diperkirakan memicu inflasi di AS dan mempersempit ruang penurunan suku bunga acuan Federal Reserve AS,” imbuh Rully.
Kebijakan AS di bawah pimpinan Joe Biden juga dinilai berpotensi memicu perang dagang dengan mitra dagang utama. Efeknya adalah terganggunya aktivitas perdagangan global.
Alhasil, perekonomian negara berkembang termasuk Indonesia akan menghadapi masalah. Pasalnya, kebijakan AS akan memperkuat nilai tukar dolar AS di pasar global.
Rully berharap ketangguhan makroekonomi mampu menghadapi potensi perang dagang maupun kondisi global yang penuh tantangan. Tentunya, perlu kebijakan yang tepat dan sinergi dari seluruh pemangku kepentingan di Indonesia.