Pengusaha Khawatir UMP Naik 6,5 Persen Picu PHK, Ekonom: Harus Ada Mitigasi
- VIVA.co.id/Anisa Aulia
Jakarta, VIVA – Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan, rata-rata kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2025 sebesar 6,5 persen. Kenaikan tersebut dikhawatirkan pengusaha akan memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, adanya potensi PHK ini pemerintah dinilai perlu memberikan subsidi untuk mencegah hal tersebut.
"Ketika ada kenaikan memang harus ada mitigasi, kemudian subsidi atau insentif untuk menekan cost dari sisi pengusaha gitu. Itu yang perlu dipikirkan sekarang," ujar Andry di Kompleks Bank Indonesia Senin, 2 Desember 2024.
Andry menuturkan, adanya kenaikan upah kepada pekerja ini akan berdampak kepada margin dan pengeluaran perusahaan yang naik.
"Nah pemerintah perlu kemudian menyiapkan mitigasinya, gimana nih untuk membantu yang dunia usaha juga supaya jangan terjadi kolapsnya tadi," imbuhnya.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani mengatakan hingga saat ini belum ada penjelasan komprehensif terkait metodologi perhitungan kenaikan ini, terutama apakah telah memperhitungkan variabel produktivitas tenaga kerja, daya saing dunia usaha, dan kondisi ekonomi aktual.
"Metodologi penghitungan tersebut penting, agar kebijakan yang diambil mencerminkan keseimbangan antara kesejahteraan pekerja dan keberlanjutan dunia usaha. Penjelasan penetapan UMP 2025 ini juga diperlukan bagi dunia usaha untuk mengambil sikap ke depan terhadap ketidakpastian kebijakan pengupahan yang masih terus berlanjut," ujar Shinta dalam keterangannya.
Apindo menilai, kenaikan UMP yang cukup signifikan ini akan berdampak langsung pada biaya tenaga kerja dan struktur biaya operasional perusahaan, khususnya di sektor padat karya.
"Dalam kondisi ekonomi nasional yang masih menghadapi tantangan global dan tekanan domestik, kenaikan ini berisiko meningkatkan biaya produksi dan mengurangi daya saing produk Indonesia, baik di pasar domestik maupun internasional. Hal ini dikhawatirkan akan dapat memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) serta menghambat pertumbuhan lapangan kerja baru,” jelasnya.