Asosiasi Pedagang Kelontong Tolak Rancangan Permenkes Soal Kemasan Rokok Polos
- ANTARA FOTO/Saiful Bahri
Jakarta, VIVA -Â Asosiasi Pedagang Kelontong menolak rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, sebagai salah satu aturan yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes).
Ketua Umum Persatuan Pedagang Kelontong Sumenep Indonesia (PPKSI), Junaidi mengatakan selama ini para pedagang kelontong telah menggantungkan pendapatan terbesarnya dari produk tembakau.
Sehingga apabila aturan tersebut diterapkan, maka hal itu akan berdampak pada penurunan omzet yang signifikan bagi para pedagang kelontong tersebut.
"Hampir 50 persen penjualan para pedagang kelontong berasal dari rokok, sehingga aturan ini akan menurunkan omzet dan menyulitkan penjualannya di lapangan," kata Junaidi dalam keterangannya pada Rabu, 27 November 2024.
Dia mengatakan, pihaknya bersama pedagang lainnya serempak menolak aturan ini, mulai dari PP Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) hingga turunannya, yang saat ini dirumuskan yaitu Rancangan Permenkes yang akan menyulitkan praktik penjualan rokok di lapangan.
Junaidi juga menyoroti mengapa produk rokok yang legal justru dihambat oleh berbagai pembatasan, sedangkan rokok ilegal semakin marak di pasaran.
"Ditambah lagi produk rokok ini kan legal, ada yang menguji di MK, ini memang produk legal jadi semestinya tidak bisa dilarang-larang pembatasan. Omzet kami pasti akan turun karena rokok ini menarik produk lain untuk ikut terjual. Kalau penjualan rokok turun, yang lain pasti turun juga," ujarnya.
Sementara Ketua Umum Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), I Ketut Budhyman mengatakan terdapat lebih dari jutaan orang yang bergantung pada industri tembakau, baik secara langsung maupun tidak.
Dengan kontribusi besarnya selama ini, inisiasi Kementerian Kesehatan tersebut berpotensi menghilangkan dampak ekonomi sebesar Rp 308 triliun serta akan mengganggu banyak sektor terkait.
"Ini kontradiktif dengan Asta Cita Presiden Prabowo karena target pertumbuhan ekonomi sebesar 8% tax ratio akan terganggu. Kalau aturan ini disahkan, akan ada 2,2 juta orang yang lapangan kerjanya tergerus. Kami berharap pemerintah baru akan lebih memperhatikan sektor tembakau dan meninjau ulang, menghentikan dulu pembahasannya," ujarnya.