Bahlil Benarkan RI Impor Nikel di Tengah Upaya Hilirisasi RI, Begini Penjelasannya
- VIVA.co.id/Mohammad Yudha Prasetya
Jakarta, VIVA – Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, tak membantah perihal kabar yang menyebut bahwa saat ini terdapat impor nikel yang dilakukan Indonesia dari negara tetangga. Meski demikian, Bahlil memastikan bahwa jumlah nikel yang diimpor hanya sekitar 10 persen, dari total kebutuhan nikel di dalam negeri.
Bahkan menurutnya, impor nikel bukanlah suatu tindakan yang haram, melainkan sesuatu yang lumrah dilakukan oleh negara-negara industri lainnya di dunia.
"Enggak apa-apa (impor nikel), belum sampai 10 persen (dari kebutuhan dalam negeri)," kata Bahlil saat ditemui di acara Minerba Expo 2024, di kawasan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Senin, 25 November 2024.
"Tapi itu bukan barang yang dilarang kan? Saya itu takut kalau (yang diimpor) barang dilarang," ujarnya.
Dia memaparkan, kebutuhan nikel dalam negeri baru mencapai 157 juta ton per tahun, yang dipenuhi dari produksi dalam negeri serta dari impor.
"Ya, total 157 juta ton. Sekarang barang sudah sebagian ada dari impor itu. Menurut saya baru dua kapal kok, dan itu pun limonite (bijih nikel berkadar rendah)," kata Bahlil.
Sebagai sebuah negara industri, Indonesia menurut Bahlil, tidak diharamkan untuk mengimpor nikel. Terlebih, tujuannya tak lain adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku nasional.
Oleh karena itu, meskipun saat ini Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, Bahlil memperingatkan agar jangan sampai perizinan produksi nikel melalui Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) di Indonesia terlalu berlebihan.
Sebab, hal itu menurutnya bisa membuat harga nikel dunia anjlok, dan justru akan berdampak pada sektor pertambangan dan perdagangan.
"Kasihan dong penambang kita. Karena saya berpikir tidak hanya pada orang yang punya smelter, tapi juga tentang bagaimana orang-orang yang punya tambang ini," ujar Bahlil.
"Kalau saya naikkan RKAB-nya melebihi dari batas kapasitas permintaan, harga jatuh. Masa kepentingan satu-dua perusahaan kemudian merusak tatanan saudara-saudara kita yang punya tambang. Ini saya pikir tidak fair," ujarnya.