Tolak PPN Naik Jadi 12 Persen, YLKI Beberkan Ketidakadilan dalam Pemungutan Pajak
- pexels.com/Nataliya Vaitkevich
Jakarta, VIVA – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menegaskan penolakan terhadap rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang akan berlaku 1 Januari 2025. YLKI menilai adanya kenaikan tarif ini memiliki potensi ketidakadilan dalam pemugutan pajak, dan memberatkan masyarakat.
Plt Ketua Pengurus Harian YLKI, Indah Suksmaningsih mengatakan meskipun kenaikan PPN pada dasarnya sesuai UU No 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, situasi sosial dan ekonomi saat ini membuat kebijakan tersebut tidak relevan.
"Di masa masyarakat mengalami penurunan pendapatan, dan kenaikan harga kebutuhan pokok, menaikkan PPN dipastikan memberatkan rakyat," tegas Indah dalam keterangannya Kamis, 21 November 2024.
Indah menuturkan, kenaikan PPN yang sudah terjadi sebelumnya pada April 2022, dari 10 persen menjadi 11 persen, masih dirasakan berat oleh masyarakat. Dia menilai, jika PPN dipaksakan naik lagi menjadi 12 persen maka akan semakin memperburuk daya beli konsumen.
"Masyarakat kemungkinan akan menunda atau bahkan membatalkan pembelian barang-barang yang dikenakan PPN tinggi, seperti barang elektronik, pakaian, dan peralatan rumah tangga. Dampaknya, dunia usaha dan industri pun akan terimbas, dengan penurunan penjualan yang berujung pada lesunya roda ekonomi," jelasnya.
Selain itu, adanya kenaikan tarif PPN 12 persen ini memiliki potensi ketidakadilan dalam pemungutan pajak. Menurutnya, Pemerintah seharusnya tak membebani konsumen dengan pajak yang tinggi, sedangkan pengemplang pajak justru tidak mendapatkan sanksi tegas.
"Alih-alih menaikkan PPN, pemerintah harusnya fokus pada peningkatan kepatuhan pajak di kalangan pengusaha kakap dan para pengemplang, agar beban pajak tidak jatuh lagi-lagi pada rakyat kecil," tegasnya.
Indah melanjutkan, pemerintah seharusnya bukan menaikkan PPN. Karena
selain dari PPN yang merugikan rakyat, pemerintah justru membatalkan atau tidak menaikkan cukai rokok dan minuman manis yang seharusnya bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan negara tanpa membebani masyarakat.
"Penerapan cukai rokok dan minuman manis juga memiliki manfaat ganda, yaitu meningkatkan pendapatan dan mengendalikan dampak kesehatan. Oleh karena itu, kebijakan yang lebih rasional dan berimbang perlu diambil oleh pemerintah," tegasnya.
Untuk itu jelasnya, YLKI mengusulkan agar pemerintah menangguhkan atau bahkan membatalkan rencana kenaikan PPN 12 persen.
"Langkah ini dianggap sebagai solusi yang lebih bijaksana dalam melindungi daya beli masyarakat dan menjaga stabilitas ekonomi Indonesia ke depan," imbuhnya.